Selama satu semester mempelajari manajamen pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta, penulis mendapati wawasan baru dari Ibu Dr. Tatu Hilaliyah, M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah tersebut, terkait hal-hal yang menjadi faktor utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Ditengah sorotan dunia terhadap kualitas pendidikan, Indonesia pada tahun 2025 masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Skor PISA Indonesia di tahun 2022 yang hanya 1.108, jauh di bawah Vietnam (1.403) dan Malaysia (1.213), mencerminkan masalah struktural seperti akses pendidikan yang tidak merata dan kualitas tenaga pendidik yang lemah. Di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), minimnya infrastruktur sekolah dan tingginya angka putus sekolah membuat program wajib belajar 9 tahun tersendat. Sementara itu, Vietnam berhasil meningkatkan akses melalui manajemen terpusat, membangun sekolah di daerah terpencil dengan distribusi sumber daya yang terarah. Di Indonesia, kualitas guru menjadi sumber masalah dikarenakan banyak yang tidak memenuhi standar S1/D4, minim pelatihan, dan distribusi pendidikan antara kota dan desa yang timpang. Malaysia sebagai perbandingan, menerapkan pelatihan guru berbasis kurikulum nasional dengan pengawasan ketat, memastikan kualitas pembelajaran yang lebih konsisten.
Manajemen pendidikan menjadi faktor permasalahan utama. Meskipun anggaran pendidikan Indonesia mencapai 20% APBN, pengelolaannya tidak efisien, dana BOS lebih banyak terserap untuk operasional ketimbang inovasi pembelajaran, ditambah maraknya korupsi di Indonesia. Thailand dengan anggaran yang lebih kecil (16%), menunjukkan efisiensi melalui evaluasi ketat yang memastikan dana tepat guna, seperti penggunaan teknologi di kelas. Sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia, yang seharusnya memberi otonomi, justru memicu penyalahgunaan seperti pungutan liar karena lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah. Vietnam dan Malayasia, dengan pendekatan manajemen masing-masing terpusat dan semi-terpusat, berhasil menjalankan perubahan yang konsisten. Kurikulum Indonesia yang sering berganti, dari KTSP hingga kurikulum merdeka, juga karut-marut dalam implementasinya karena guru tidak dilatih secara memadai, berbeda dengan Thailand yang memiliki kurikulum stabil untuk  mendukung keterampilan mengajar guru.
Faktor eksternal seperti stunting, yang memengaruhi 19,8% anak Indonesia pada tahun 2024, memperburuk hasil belajar karena program gizi anak tidak terkoordinasi dengan baik, tidak seperti Filipina yang lebih terintegrasi dalam mengelola kesehatan dan pendidikan. Namun, pemerintah seolah lebih sibuk memprioritaskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sering hanya menyajikan nasi dan tempe tanpa gizi memadai, ketimbang membenahi manajemen pendidikan yang karut-marut. Dengan anggaran besar namun hasil minim, Indonesia kontras dengan negara tetangga yang mampu memaksimalkan sumber daya. Hingga 2025, tanpa perubahan manajemen yang serius, seperti koordinasi pusat-daerah yang kuat, pelatihan guru yang memadai, dan alokasi anggaran yang efektif, pendidikan Indonesia tampaknya akan tetap menjadi anak tiri, hanya sibuk menghitung piring kosong dan kelas ambruk, bukan generasi cerdas yang siap bersaing di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI