Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Neymar, Harga Diri dan Bisnis Olahraga

12 Juli 2014   23:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:31 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pada babak perempat final lalu, Brazil menang atas Kolombia 2-1, tapi striker bintangnya, Neymar cidera serius setelah "dikungfu" bek kolombia, Juan Zuniga, sehingga tidak bisa membela timnya ketika menjadi bulan-bulanan Jerman, 1-7 pada babak semifinal kemarin.

Minggu dini hari nanti (13/07/2014) Brazil berhadapan dengan Belanda memperebutkan juara 3 Piala Dunia (Word Cup) ---suatu istilah yang mencerminkan kesombongan (determinasi atau hegomoni) olahraga bola sepak dalam konstelasi olahraga-olahraga yang lainnya (?).

Menilik trackrecordkedua kesebelasan selama Piala Dunia Brazil ini, banyak pihak menjagokan Belanda. Lantaran, catatan Belanda lebih kinclong dibanding Brazil.

Brazil hanya 2 kali saja menang goal, 1 kali menang karena adul pinalti, dan 1 kali seri serta 1 kali kalah telak 1-7 atas Jerman. Sementara itu, Belanda 4 kali menang goal, diantaranya menang telak 5-1 melawan Spanyol, 1 kali menang karena adu pinalti, dan 1 kali kalah karena adu pinalti.

Namun demikian, ---terlepas apakah hanya sebagai perang urat syaraf atau tidak, Thiago Silva, bintang kedua Brazil setelah Neymar yang ketika berhadapan dengan Jerman kemarin kena sanksi tidak boleh main lantaran akumulasi kartu kuning ini mengatakan, "Tentu saja kami punya target berbeda sekarang dan bukan lagi tempat pertama yang sekarang kami perjuangkan tapi kehormatan dan martabat kami," ---sebagaimana dikutip Reuters dalam detikSport (12/07/2014).

Ini sangat menarik: cidera serius Neymar, harga diri Brazil dan olahraga. Mengapa? Toh, sejatinya, aktivitas sehari-hari kita tanpa disadari itupun sudah merupakan aktivitas berolahraga? Mengapa dalam berolahraga harus ada cidera serius karena serangan (sengaja atau tidak sengaja) lawan? Kenapa juga dalam olahraga mesti ada harga diri segala? Hmm...

BISNIS

Yup. Bisnis. Oleh karena determinasi bisnislah, maka acapkali olahraga harus dikonsepsikan sebagai aktivitas fisik yang dilembagakan.

Mengapa?

Menurut madzhab bisnis ini pertama, olahraga memerlukan aktivitas fisik dalam bentuk keahlian, keberanian dan pengerahan tenaga. Dan, Kedua, olahraga melibatkan persaingan berdasarkan seperangkat aturan resmi (Vic. Duke, University of Salford).

Tradisi ceritera suskses penyelenggaraan event 4 tahunan Olympiade, Asian Games, PON, World Cup, dan event 2 tahunan Sea Games, misalnya, adalah bukti nyata fenomena itu.

Oleh karena itu, dalam konteks pengkonsepsian olahraga semacam ini, berimbas pada kajian sosiologi olahraga (sociology of sport) berkembang dalam dua angel yang bersifat diametral. Namun dalam tataran empirik, keduanya justru sama-sama aktual dalam fenomena kekinian.

Satu pihak, teori fungsional berpandangan bahwa olahraga bermanfaat bagi masyarakat, karena dapat mendorong integrasi sosial, men-sosialisasikan individu agar mematuhi aturan, dan mem-fasilitasi pelepasan ketegangan dan menyalurkan sifat agresif.

Di lain pihak, teori konflik yang notabene berasal dari pemikiran Marxis tradisional, menegaskan bahwa olahraga merupakan candu yang membuat orang lari dari persoalan sehari-hari. Dan, secara kasuistis ada benarnya. Berapa saja pasangan keluarga yang harus bertengkar bahkan bercerai gara-gara kecanduan olahraga, atau setidaknya terkena efek dominonya, seperti kelana fans club fanatik yang berlebihan, atau perjudian?

Teori ini memandang bahwa organisasi olahraga menanamkan disiplin kerja, mendorong agresi individualisme dan persaingan yang kejam, yang merupakan ciri-ciri yang dianggap menguntungkan bagi keberhasilan ekonomi kapitalis (Brohm, 1978).

Mungkin juga kasuistis, tapi sejarahpun membuktikan, bahwa di balik gemerlap industri olahraga, telah berapa saja atlet yang harus mengalami cedera abadi atau bahkan mati di medan laga olahraga, karena aroma agresi individualisme dan persaingan yang kejam itu?

Tidak sebatas fenomena (hanya) cidera seriusnya Neymar saja itu. Bahkan tercatat bahwa cabang sepak bola juga telah menewaskan banyak pemain top kelas dunia seperti Marc-Vivien Foe pemain Timnas Kamerun pada 2003, Antonio Puerta pemain club Sevilla pada 2007, John Tomson kiper Glasgow Celtic pada 1993, Hugo Cunha club Portugal 2005, Marcio Dos Santos Brasil 2002, Samuel Okwaraji jepang pada 1989 dan masih ada catatan yang lainnya.

Apalagi dalam cabang olahraga keras. Dalam tinju, sebutlah, Muhammad Ali, legendaris tinju dunia, kini ia harus menderita sindrom parkinson yang tak kunjung sembuh. Atau, Duk Koo Kim petinju kelas dunia asal Korea Selatan yang harus mati di ring tinju pada 1982. Atau di negeri kita, semenjak merdeka, tidak kurang dari 30 petinju sekarat di atas ring. Mulai dari Jimmy Koko pada 1948 hingga Tubagus Setia Sakti yang bertarung pada 26 Januari 2013, TKO dan koma, serta keesokan harinya tewas di RS UKI Cawang Jakarta.

Kemudian, dicabang balap motor, menorehkan catatan kelam dengan kematian Marco Simoncelli, Shoya Tomizawa, Daijiro Kato dan Ivan Palazzese. Dan, di balik realitas tragis itu semua, justru tidak sedikit borju yang bergelimang mengkapitalisasi kekayaan dari olahraga yang dilembagakan itu.

Tengoklah kemegahan kerajaan bisnis olahraga ala promotor nomor wahid dunia, Don King (USA, 1931); Tim-tim perekurt riders Repsol Honda, Fiat-Yamaha, dan juga bos-bos pemilik club sepak bola terkaya di dunia seperti Carlos Slim (Mexico), Amancio Ortega (Spanyol), Alisher Usmanov (Rusia), George Soros (Pria keturunan etnis Yahudi), Paul Allen (Pria yang merupakan pendiri Microsoft). Dan, juga fenomena baru pengusaha Indonesia Erick Thohir yang baru saja membeli raksasa club Inter Milan, termasuk pula gurita bisnis FIFA si penyelenggara Piala Dunia ini di dalamnya.

KHOTIMAH

Dalam kerangka menatap peradaban masa depan, pertanyaannya adalah, haruskah pelembagaan olahraga di bawah hegomoni bisnis ini dipertahankan? Jika dipaksakan bertahan, lalu, bagaimana mencegah efek domino negatif yang berlebihan dari pelembagaan olahraga ini?

Harus terjawab bahwa di manakah letak hakikat olahraga, yang notabene meng-absyahkan senam asal ‘kroyak’, juga jingkrak-jingkrak ala suporter bolapun mendapat tempat?

Hmm. Semoga tempat itu tidak hanya di atas ranjang saja, pastinya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun