Eric Lenneberg melalui Hipotesis Masa Kritis berpendapat bahwa terdapat periode optimal---sampai sekitar masa pubertas---bagi otak untuk memperoleh bahasa pertama. Setelah periode ini, penguasaan bahasa cenderung tidak lagi mencapai tingkat kemahiran seperti penutur asli.
Sementara Jean Piaget memandang bahasa sebagai cerminan perkembangan kognitif, Lev Vygotsky menekankan peran bahasa sebagai alat berpikir. Bahasa ibu, menurut Vygotsky, menjadi piranti internal yang membantu anak mengorganisasikan pikiran dan memecahkan masalah.
3. Fungsi Multidimensional Bahasa Ibu dalam Kehidupan
Bahasa ibu memainkan peran yang kompleks dan vital dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagai fondasi identitas dan budaya, bahasa ibu menjadi pembawa nilai-nilai, tradisi, dan kearifan lokal suatu komunitas. Dalam bahasa Jawa, misalnya, konsep-konsep seperti tepa selira (tenggang rasa), sabar sareh dimen pikoleh (kesabaran membuahkan hasil), dan mulat salira (introspeksi diri) menunjukkan kedalaman filosofi hidup yang diwariskan melalui bahasa ibu. Bahasa ini juga berfungsi sebagai dasar untuk mempelajari bahasa lain---pemahaman tentang struktur bahasa yang diperoleh melalui bahasa pertama menjadi kerangka kerja untuk memahami bahasa-bahasa baru.
Dalam ranah emosional, bahasa ibu sering menjadi alat yang paling efektif untuk mengekspresikan perasaan yang mendalam. Selain itu, setiap bahasa ibu yang lestari merupakan penanda keberagaman budaya manusia, dimana kepunahannya berarti hilangnya perspektif unik dalam memandang dunia.
4. Bahasa Ibu dalam Konteks Indonesia: Tantangan dan Upaya Pelestarian
Di Indonesia, dimana terdapat lebih dari 700 bahasa daerah, pelestarian bahasa ibu menghadapi tantangan khusus. Seperti yang disampaikan dalam dokumen Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025, "semakin berkurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa" mencerminkan ancaman serius terhadap kelestarian bahasa ibu daerah.
Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menunjukkan komitmen konkret dalam menghadapi tantangan ini. Melalui berbagai lomba yang ditujukan bagi siswa SD dan SMP, FTBI tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga menghidupkannya melalui kegiatan kreatif seperti berpidato (sesorah), mendongeng (ndongeng), hingga menulis aksara Jawa. Pendekatan ini sesuai dengan prinsip bahwa pelestarian bahasa ibu harus melibatkan generasi muda dengan cara yang menarik dan relevan.
Kearifan lokal Jawa mengingatkan kita: "Aja gumunan, aja kagetan, aja dumeh" (jangan mudah heran, jangan mudah terkejut, jangan sok) menjadi pengingat akan pentingnya sikap rendah hati dalam mempelajari dan melestarikan bahasa ibu. Beberapa strategi pelestarian yang dapat dilakukan meliputi transfer antargenerasi melalui penggunaan bahasa ibu di lingkungan keluarga, integrasi bahasa ibu dalam pendidikan awal anak, serta pendokumentasian dan revitalisasi melalui media digital dan teknologi.
5. Perbandingan Antara Bahasa Ibu dan Bahasa Kedua
Ketika kita membandingkan bahasa ibu dengan bahasa kedua, beberapa perbedaan mendasar menjadi jelas. Dari segi pemerolehan, bahasa ibu diperoleh secara alami melalui interaksi sehari-hari, sementara bahasa kedua biasanya dipelajari secara formal melalui pendidikan.
Dalam hal penguasaan, bahasa ibu cenderung bersifat intuitif dan otomatis dengan pelafalan yang menyerupai penutur asli. Sebaliknya, penguasaan bahasa kedua umumnya memerlukan usaha sadar dan mungkin menyisakan aksen dari bahasa pertama.
Aspek emosional juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bahasa ibu biasanya memiliki kedalaman emosional yang kuat karena terkait dengan memori masa kecil dan pembentukan identitas. Sementara bahasa kedua sering kali lebih bersifat fungsional dan kontekstual.