Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Horor

Beban di Pundak

24 September 2025   20:18 Diperbarui: 24 September 2025   20:21 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

Malam itu, pukul sepuluh. Hawa dingin menusuk kulit, angin membawa bau tanah basah yang lengket di hidung. Aku dan Dhimas berdiri di tepi Kedung Singkal, tempat yang katanya menyimpan arwah pemuda hilang puluhan tahun lalu.

"Cerita hantu itu cuma buat nakut-nakutin," ujar Dhimas sambil menyiapkan pancing. Senyumnya lebar, tapi aku melihat matanya bergetar.

Berbeda dengan Dhimas yang meledak-ledak, aku sejak kecil terbiasa tenang. Nenek sering berkata aku punya mata batin yang jernih. Aku tak pernah benar-benar paham, tapi sering merasakan hawa yang sulit dijelaskan---dingin yang menempel, hangat yang tiba-tiba datang. Malam ini, hawa itu kembali.

Air kedung hitam pekat, memantulkan bulan yang redup. Saat kail dilempar, sebuah dengung aneh terdengar. Bukan serangga, melainkan getaran dari dalam air. Dhimas menoleh, wajahnya pucat.

"Aku... nggak narik," bisiknya panik. Pancing di tangannya bergerak sendiri. Dari kedalaman, bisikan memanggil nama kami berulang kali. Dhimas... Gilang...

Air berputar pelan, pusaran kecil membesar. Lalu suara tangis anak kecil terdengar samar, berubah jadi cekikikan. Bau bangkai bercampur wangi melati menusuk hidung.

Dhimas melepaskan pancingnya. "Kita pergi sekarang!" teriaknya. Tapi saat melangkah, kakinya terseret sesuatu. Ia jatuh, tubuhnya ditarik ke dalam air pekat. Satu teriakan, satu cipratan, lalu hening.

"Dhimas!" Aku menjerit, namun kedung diam seakan menelan semuanya. Panik, aku berlari menembus hutan. Ranting patah di belakangku, seolah ada yang mengikuti. Nafasku tersengal. Lalu, beban berat menghantam punggungku.

Aku berhenti. Dingin, lembap, seperti bongkahan es menempel. Jari-jari panjang mencengkeram pundakku. Bau busuk bercampur melati makin menyengat. Aku gemetar.

Di depan rumah, aku melihat bayangan di kaca jendela. Wajah pucat dengan mata hitam kosong dan bibir biru menempel di bahuku. Itu wajah Dhimas---bukan yang hidup, melainkan cangkang kosong.

"Aku sudah menunggumu. Kini kita bersama." Suara itu menggema di kepalaku.

Ketakutan mendidih jadi amarah. "Kamu bukan Dhimas!" teriakku. Aku memejamkan mata, membayangkan cahaya terang membakar kegelapan di pundakku. Jeritan panjang mengguncang udara, mencengkeramanku bergetar lalu melemah.

Saat membuka mata, aku sendirian. Bayangan itu hilang, tapi hawa dingin masih tersisa. Malam itu aku tahu: beban ini tidak akan pernah pergi sepenuhnya. Tapi kini ia tahu siapa yang harus ia takuti.

Sanggar Literasi CSP [cah_sor_pring], 24-9-25.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun