Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pitutur #3: Ngundhuh Wohing Pakarti & Konsep Amal

22 September 2025   15:59 Diperbarui: 22 September 2025   15:59 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pernahkah Anda melihat seseorang yang suka berbuat curang akhirnya jatuh dalam kehinaan? Atau sebaliknya, orang sederhana yang ringan tangan membantu justru mendapat pertolongan saat kesulitan?

Fenomena ini sering disebut masyarakat sebagai "karma". Dalam pitutur Jawa, hal ini dirangkum dalam pepatah: "Ngundhuh wohing pakarti." Siapa menanam perbuatan, ia akan menuai buahnya.

Ngundhuh Wohing Pakarti: Sawah Kehidupan

Orang Jawa menggambarkan hidup seperti sawah. Apa yang ditanam, itulah yang tumbuh. Kalau menanam padi, panen padi. Kalau menanam ilalang, panen ilalang.

Demikian pula dengan tindakan manusia. Perbuatan baik akan berbuah kebaikan, sementara perbuatan buruk akan berbalik menyusahkan pelakunya. Filosofi ini menegaskan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Perspektif Islam: Amal Baik dan Buruk Tak Pernah Hilang

Ajaran ini sejalan dengan firman Allah:

"Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)." (QS. Az-Zalzalah: 7--8)

Setiap amal, sekecil apa pun, tidak akan sia-sia. Bahkan senyuman adalah sedekah, dan ucapan kasar pun tercatat sebagai dosa. Islam menegaskan adanya sunatullah: hukum sebab-akibat yang berlaku dalam kehidupan manusia.

Analisis Sosial: Konteks Zaman Digital

Dalam kehidupan modern, pitutur ini terasa semakin nyata:

  1. Korupsi cepat atau lambat terbongkar, meninggalkan aib.
  2. Ujaran kebencian di medsos bisa jadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri.
  3. Kebaikan kecil menolong, berbagi informasi bermanfaat, atau sekadar menyapa dengan ramah dapat membangun jejaring sosial yang menolong suatu saat nanti.

Era digital membuat rekam jejak semakin transparan. Apa yang kita "tanam" di internet akan "dipanen": konten positif membawa kebaikan, konten negatif membawa penyesalan.

Pesan Aktual untuk Generasi Kekinian

Generasi sekarang sering ingin hasil instan. Padahal, ngundhuh wohing pakarti mengajarkan bahwa buah tidak muncul seketika. Butuh waktu, kesabaran, dan konsistensi.

Islam pun menekankan hal serupa: amal baik mungkin tidak langsung berbuah di dunia, tetapi balasannya pasti---entah di dunia, entah di akhirat. Maka jangan lelah menanam kebaikan, karena hasilnya akan datang pada waktunya.

Penutup

Ngundhuh wohing pakarti adalah hukum kehidupan yang universal. Filosofi Jawa dan ajaran Islam sama-sama menegaskan: apa yang kita tanam hari ini menentukan apa yang kita panen besok.

Sebelum bertindak, mari bertanya pada diri: "Apakah aku siap memanen buahnya nanti?" Jika ya, teruskan. Jika tidak, sebaiknya urungkan. Karena hidup ini pada akhirnya adalah cermin dari perbuatan kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun