Dalam kehidupan modern, pitutur ini terasa semakin nyata:
- Korupsi cepat atau lambat terbongkar, meninggalkan aib.
- Ujaran kebencian di medsos bisa jadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri.
- Kebaikan kecil menolong, berbagi informasi bermanfaat, atau sekadar menyapa dengan ramah dapat membangun jejaring sosial yang menolong suatu saat nanti.
Era digital membuat rekam jejak semakin transparan. Apa yang kita "tanam" di internet akan "dipanen": konten positif membawa kebaikan, konten negatif membawa penyesalan.
Pesan Aktual untuk Generasi Kekinian
Generasi sekarang sering ingin hasil instan. Padahal, ngundhuh wohing pakarti mengajarkan bahwa buah tidak muncul seketika. Butuh waktu, kesabaran, dan konsistensi.
Islam pun menekankan hal serupa: amal baik mungkin tidak langsung berbuah di dunia, tetapi balasannya pasti---entah di dunia, entah di akhirat. Maka jangan lelah menanam kebaikan, karena hasilnya akan datang pada waktunya.
Penutup
Ngundhuh wohing pakarti adalah hukum kehidupan yang universal. Filosofi Jawa dan ajaran Islam sama-sama menegaskan: apa yang kita tanam hari ini menentukan apa yang kita panen besok.
Sebelum bertindak, mari bertanya pada diri: "Apakah aku siap memanen buahnya nanti?" Jika ya, teruskan. Jika tidak, sebaiknya urungkan. Karena hidup ini pada akhirnya adalah cermin dari perbuatan kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI