"Tidak," sangkal Prabu Kertarajasa dengan tegas. "Wiraraja adalah ular yang licik. Jika kita tunjukkan ketakutan atau kekerasan, dia akan menggigit. Lebih baik kita hadapi dengan kecerdikan. Nambi, tulis balasan untuknya. Berikan sebagian kecil dari permintaannya, tapi dengan syarat yang ketat. Puji jasanya, ingatkan dia akan ikatan kita, dan awasi setiap gerak-geriknya dengan mata-mata kita sendiri. Kita harus membuatnya merasa dihargai, tetapi juga diawasi."
Strategi itu berhasil, untuk sementara. Tapi ketegangan antara trio terdekat Raja---Nambi si ahli strategi, Lembu Sora si panglima perang, dan Wiraraja si pengatur dari jauh---semakin terasa. Mereka adalah pilar-pilar yang menopang takhta, tetapi jika satu pilar retak, seluruh bangunan bisa runtuh.
Di tengah semua ini, kehidupan pribadi Raja tidak luput dari tragedi. Prajna Paramita, salah satu putri Kertanegara yang dinikahinya, jatuh sakit dan wafat hanya setahun setelah penobatan. Kematiannya meninggalkan duka yang dalam, terutama bagi Prabu Kertarajasa yang melihatnya sebagai simbol penyatuan yang rapuh.
Kematian itu juga memicu krisis politik terselubung. Prajna Paramita tidak meninggalkan keturunan. Perebutan pengaruh di istana mulai terjadi di antara para selir dan calon selir untuk melahirkan putra mahkota. Tribhuwaneswari dan Gayatri, yang masih sehat dan kuat, menjadi pusat harapan.
Namun, benih dendam dan konspirasi justru datang dari tempat yang tidak terduga.
Suatu pagi, mayat Ki Lucah Kudhadhu---salah satu pengikut lama Raden Wijaya dari masa pelarian yang kemudian diangkat menjadi pengawal pribadi---ditemukan tewas di parit pertahanan luar istana. Tubuhnya penuh luka tikaman, dan yang paling mencolok, sehelai surat bersegel merah melekat di bajunya.
Surat itu hanya berisi satu kalimat, ditulis dengan huruf-huruf yang anggun namun menusuk:
"Darah Singhasari belum kering. Pengkhianat akan menuai apa yang mereka tabur."
Surat itu tidak ditandatangani, tetapi gaya bahasanya, serta segel merahnya, mengingatkan Prabu Kertarajasa pada sesuatu yang sangat dia kenal. Gaya bahasa Arya Wiraraja.
"Ini provokasi!" sangkal Nambi ketika surat itu ditunjukkan. "Wiraraja terlalu pintar untuk meninggalkan jejak begitu jelas. Seseorang mencoba memfitnah dia dan memicu perang antara Paduka dengannya."
"Atau," tambah Lembu Sora dengan nada suram, "dia sengaja melakukannya dengan jelas karena dia tahu kita tidak akan percaya, sehingga kita akan mengabaikan ancaman yang sebenarnya."