Potongan-potongan itu akhirnya menyatu: motif kecewa, pemesanan stempel, akses arsip. Budi tak perlu hadir fisik; ia cukup mengatur dari jauh.
Di ruang rapat, Pak Darta mempertemukan Pak Tono dan Budi. Ia tidak langsung menuduh. Dengan tenang, ia menceritakan prosesnya: bagaimana ia menguji setiap jejak, meragukan tiap kesaksian, hingga tiba pada kesimpulan.
"Dokumen ini tidak ditandatangani dengan pena, tapi dengan stempel," kata Darta, suaranya berat namun tenang. "Budi, kamu yang memesannya. Jejaknya jelas."
Budi terdiam lama. Tangannya mengepal di pangkuan, wajahnya menegang. "Mereka janji akan promosikan saya," ucapnya akhirnya, suaranya pecah. "Saya kerja siang-malam, tapi jabatan itu mereka kasih ke orang yang hanya lebih lama bertahan. Saya hanya ingin mereka gagal sekali saja... supaya sadar siapa yang benar-benar pegang kendali."
Hening menyelimuti ruangan. Tidak ada pembelaan lebih lanjut, hanya perasaan getir dari seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil.
Pak Darta menghela napas. Ia tahu, kebenaran tidak selalu memberi kepuasan. Tapi ia juga tahu, jalan menuju kebenaran selalu menuntut kesabaran---mengamati, meragukan, dan menyatukan setiap potongan bukti dengan hati-hati.
Keadilan, pikirnya, tidak datang dari kesimpulan cepat, melainkan dari perjalanan panjang untuk menyingkap lapisan-lapisan yang menutupinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI