"Kenapa aku tidak melakukan ini lebih cepat? Kenapa aku harus menunggu?" pikirnya, hatinya dipenuhi penyesalan.
Sore itu, Andi kembali ke rumah dengan perasaan kacau. Ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Adit muncul di layar. "Aku sudah memaafkanmu, Andi. Tapi terkadang, kita harus merelakan orang yang kita cintai untuk pergi, agar kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik."
Andi menatap pesan itu, tetapi sebelum sempat membalas, ponselnya berdering lagi. Kali ini, sebuah pesan yang lebih mengejutkan. "Kecelakaan... Adit... Kecelakaan... Di jalan Raya Semangka."
Jantung Andi hampir berhenti berdetak. Kakinya gemetar, pandangannya kabur. Ia menatap pesan itu dengan kebingungan, seakan-akan dunia terhenti sejenak.
"Jangan katakan ini... Jangan katakan ini!" teriaknya, panik. Ia berlari keluar rumah, berusaha mencari Adit, meskipun tahu bahwa saat itu sudah terlambat.
Namun, semua yang ia lakukan tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Adit, sahabatnya, telah pergi lebih dulu. Semua kata-kata yang tidak sempat terucap, semua penyesalan yang datang terlambat.
Dengan dada sesak, Andi menatap langit senja yang semakin gelap. Air tak selalu jernih, begitu juga pikirannya. "Aku... aku terlalu lama menunggu..." bisiknya, namun tidak ada yang bisa mengubah kenyataan.
Dengan air mata yang jatuh, Andi menyadari satu hal---kadang-kadang permintaan maaf datang terlambat, dan kita hanya bisa belajar untuk merelakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI