Pada tahun 1943 Petinggi Sadiyo wafat. Pada tahun 1943M itu pula diadakan calonan petinggi yang diikuti oleh 5 calon. Yakn:i satu, Dero yang pada pemilu periode lalu kalah. Dua, Kahar. Tiga, Karsono bin Makruf. Â Empat, Guru Darnawi. Lima, Mulyadi (yang belakangan menjadi 'ntolorong' menjadi Petinggi di Mojolawaran).
Proses pemilihan pada saat itu sudah menggunakan media 'biting' yang dimasukkan ke dalam bumbung. Dan, kali itu dimenangkan oleh Dero.
Pada awal tahun 1945M, Petinggi Dero yang praktis baru menjabat 2 tahun diberhentikan oleh pemerintahan kolonial Jepang melalui program 'siapan'-nya. 'Siapan' yaitu pemberhentian bersama-sama seluruh kepala desa di Jawa dan segera diadakan pemilihan baru.
Maka pada awal tahun 1945M diadakan pemilu desa lagi. Kahar dan eks petahana, Dero kembali ikut. Dan, pendatang baru, H. kambali dan Mangun dari Kuryo juga ikut meramaikan pemilihan. Hasilnya sungguh mendebarkan. Karena selisih pemenang kesatu dan kedua hanya satu biting! Yakni Dero mendapat 91. Dan, Mangun 90. Sementara Kahar dan H. Kambali masing-masing memperoleh sekitar 30-an. Dan, dengan demikian Petinggi Dero menjabat kembali.
Pada tahun 1972M Petinggi Dero lengser dan digantikan oleh Petinggi Subandi yang merupakan petinggi Desa Kuryokalangan yang pertama-tama kalinya berasal dukuh Kuryo.
Selanjutnya 1988M Petinggi Subandi digantikan Petinggi Suhud. Pada 1993M berlanjut ke Petinggi Muhamadun. Dan, berikutnya Petinggi Sutrimo serta kini Petinggi Didik Hermanto.
Demikianlah. Kuryokalangan dalam lintasan sejarah merupakan catatan kecil sejarah demokrasi di Indonesia yang relative menarik.
Mula-mula ia mengalami suasana monarki. Kemudian tertatih-tertatih belajar dengan cara berpraktik langsung soal sistem politik 'baru', aplikasi demokrasi.
Pemilu desa sebagai aplikasi demokrasi yang sering dikenal juga dengan istilah 'calonan petinggen' itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual, yaitu sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada.
Awalnya  dengan teknik 'buntutan', kemudian berkembang dengan alat bantu 'biting' dan sebagaimana sekarang, bermedia kertas. Mungkin besok bersistem elektrik. Â
Dalam konteks demokrasi itu ada juga fenomena menarik di lintasan sejarah Kuryokalangan. Yakni adanya fenomena pemekaran wilayah (alas bokong semar dibagi dua, Kuryo dan Kalangan) dan sekaligus fenomena penggabungan wilayah (Kuryo dan kalangan), ---di mana hal itu lazim (trend) terjadi pada era sekarang, demi efisiensi dan efektifitas pembangunan.