Mohon tunggu...
Khartini Kaluku
Khartini Kaluku Mohon Tunggu... Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Maluku

Nutrition Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kajian Ilmiah Ketahanan Pangan

27 Mei 2025   22:05 Diperbarui: 27 Mei 2025   22:05 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironi Ketahanan Pangan: Ketika Makanan Terbuang, Dunia Tetap Lapar

Oleh: Khartini Kaluku, S.Gz., M.Kes

Di tengah gempuran isu perubahan iklim, krisis ekonomi, dan ketimpangan akses pangan, dunia dihadapkan pada satu ironi besar: makanan terbuang di satu sisi, sementara kelaparan menggerogoti di sisi lain. Food waste atau pemborosan pangan bukan hanya masalah rumah tangga modern, tetapi telah menjadi tantangan global yang kompleks dan multidimensional. Ia menyentuh aspek ekonomi, sosial, kesehatan, hingga keberlanjutan lingkungan. Sebagai pemerhati gizi yang mengamati dinamika ketahanan pangan rumah tangga di berbagai wilayah, saya melihat bahwa persoalan ini jauh lebih dalam dari sekadar sisa makanan di piring. Ia mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola pangan dari hulu ke hilir.

Pertanyaannya: sampai kapan kita akan terus mengabaikan paradoks ini?

Skala Masalah: Miliaran Ton Makanan Terbuang

Menurut laporan UNEP Food Waste Index Report (2021), sekitar 931 juta ton makanan terbuang setiap tahun. Yang mengejutkan, 61% dari limbah tersebut berasal dari rumah tangga, bukan restoran besar atau industri pangan. Ini menunjukkan bahwa krisis pemborosan pangan dimulai dari dapur kita sendiri. 

Dalam studi oleh Gustavsson et al. (2011), hampir sepertiga dari semua makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia -- sekitar 1,3 miliar ton per tahun -- tidak pernah dimakan. Fenomena ini menjadi sangat ironis ketika disandingkan dengan data Food and Agriculture Organization (FAO) yang mencatat bahwa lebih dari 735 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis pada tahun 2023.

 

Pemborosan di Rumah Tangga dan Krisis Ketahanan Pangan

Pemborosan pangan berdampak langsung pada ketahanan pangan rumah tangga, terutama di negara berkembang. Menurut Parfitt, Barthel & Macnaughton (2010), rumah tangga di negara dengan penghasilan menengah sering kali membuang makanan karena pembelian berlebihan, kesalahan penyimpanan, atau kurangnya kesadaran akan tanggal kedaluwarsa.

Di Indonesia, riset oleh Widarjono (2022) menunjukkan bahwa sekitar 48 juta ton makanan terbuang setiap tahun. Bila dikonversi, ini setara dengan memberi makan 125 juta orang---melebihi separuh jumlah penduduk Indonesia. Artinya, masalah ini bukan semata kerugian ekonomi, tetapi ancaman nyata terhadap hak dasar masyarakat untuk hidup sehat dan cukup pangan.

 

Dampak Ekonomi: Kerugian Triliunan Rupiah

Selain kelaparan, pemborosan pangan juga menimbulkan kerugian ekonomi yang luar biasa. Menurut WRAP (Waste and Resources Action Programme, 2020), rata-rata keluarga di Inggris kehilangan 700 per tahun akibat makanan yang terbuang. Di Amerika Serikat, Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) mencatat total kerugian akibat pemborosan pangan mencapai USD 218 miliar per tahun.

Di Indonesia, riset dari BAPPENAS (2021) menunjukkan bahwa pemborosan pangan selama periode 2000--2019 menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 551 triliun. Angka ini mencakup nilai dari makanan yang hilang, serta biaya lingkungan dan sosial yang menyertainya.

 

Dampak Lingkungan: Emisi, Air, dan Lahan Terbuang

Food waste juga merupakan penyumbang besar terhadap perubahan iklim. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2019), limbah makanan menyumbang sekitar 8--10% dari total emisi gas rumah kaca global. Ini karena makanan yang membusuk di tempat pembuangan akhir menghasilkan metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.

Tak hanya itu, 24% dari semua air yang digunakan di sektor pertanian global digunakan untuk menanam makanan yang akhirnya tidak dikonsumsi (FAO, 2013). Hal serupa terjadi pada lahan---sekitar 1,4 miliar hektar lahan produktif digunakan untuk memproduksi makanan yang akhirnya dibuang.

 

Faktor Penyebab Pemborosan Pangan

1. Perilaku Konsumen

Menurut studi oleh Stefan et al. (2013), penyebab utama food waste di rumah tangga adalah perencanaan makanan yang buruk, belanja impulsif, dan miskomunikasi antarkeluarga soal kebutuhan makan. Kebiasaan membeli dalam jumlah besar demi diskon juga menjadi pemicu.

2. Kurangnya Edukasi

Banyak orang tidak memahami makna "best before" dan "use by" yang tercetak pada kemasan. Dalam riset oleh Wilson et al. (2017), mayoritas konsumen membuang makanan yang sebenarnya masih layak konsumsi karena salah tafsir label kedaluwarsa.

3. Sistem Distribusi yang Tidak Efisien

Distribusi pangan yang tidak merata menyebabkan surplus di satu tempat dan kekurangan di tempat lain. Rantai pasok yang panjang memperbesar risiko kerusakan, terutama pada produk segar seperti buah dan sayur (Lipinski et al., 2013).

 

Upaya Global dan Lokal dalam Mengurangi Food Waste

1. Kebijakan Pemerintah

Uni Eropa telah mengadopsi strategi "Farm to Fork" yang menargetkan pengurangan 50% pemborosan pangan pada tahun 2030. Prancis bahkan memberlakukan undang-undang yang melarang supermarket membuang makanan dan mewajibkan donasi kepada lembaga sosial (European Commission, 2020). Indonesia melalui GRASP2030 (Gerakan Rantai Pasok Pangan Berkelanjutan) mulai mengadopsi pendekatan kolaboratif lintas sektor dalam menangani isu ini.

2. Teknologi Digital

Aplikasi seperti "Too Good To Go", "Karma", dan "OLIO" membantu konsumen mendapatkan makanan sisa restoran dengan harga murah. Ini terbukti mengurangi food waste sekaligus mengedukasi masyarakat soal nilai pangan (Alexander & Smaje, 2008).

3. Inisiatif Komunitas

Banyak komunitas telah memulai "food sharing movement" untuk mendistribusikan makanan berlebih di lingkungannya. Di Indonesia, gerakan "Foodbank of Indonesia" menghubungkan donatur pangan dengan masyarakat yang membutuhkan.

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1. Ubah pola belanja, beli seperlunya, rencanakan menu mingguan, dan gunakan daftar belanja. Hindari membeli hanya karena promosi "beli 2 gratis 1".

2. Manfaatkan sisa makanan seperti sisa nasi bisa jadi nasi goreng. Pisang terlalu matang bisa dijadikan cake. Dengan kreativitas, sisa makanan bisa jadi hidangan lezat dan hemat.

3. Edukasi anak sejak dini, dengan menanamkan pentingnya menghargai makanan sejak usia dini. Ajak anak memasak, memahami asal-usul makanan, dan tidak membuang makanan sembarangan.


Menuju Ketahanan Pangan yang Berkelanjutan

Ketahanan pangan bukan hanya soal mencukupi kebutuhan kalori, tetapi memastikan keberlanjutan sistem pangan untuk generasi mendatang. Ketika kita membuang makanan, kita juga membuang tenaga petani, air, pupuk, bahan bakar, dan emisi karbon yang digunakan untuk memproduksinya. Menjaga ketahanan pangan artinya menjaga bumi. Artinya juga menjaga anak-anak kita agar tidak kelaparan esok hari karena kita lalai hari ini.

 

Dari Dapur Kita, Dunia Bisa Diselamatkan

Tidak semua orang bisa memengaruhi kebijakan global. Tidak semua orang bisa membuat undang-undang. Tapi setiap orang bisa mulai dari rumah. Dari piring makan kita sendiri.

Makanan adalah berkah, bukan sampah. Dan dari kepedulian kecil di rumah tangga, perubahan besar bisa terjadi. Inilah saatnya kita bukan hanya makan dengan bijak, tetapi juga tidak membuang dengan gegabah.

 

Referensi

Gustavsson, J., Cederberg, C., Sonesson, U., van Otterdijk, R., & Meybeck, A. (2011). Global food losses and food waste -- Extent, causes and prevention. FAO.

Lipinski, B., et al. (2013). Reducing Food Loss and Waste. World Resources Institute. [Scopus]

Parfitt, J., Barthel, M., & Macnaughton, S. (2010). Food waste within food supply chains: Quantification and potential for change to 2050. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 365(1554), 3065--3081. https://doi.org/10.1098/rstb.2010.0126

Stefan, V., van Herpen, E., Tudoran, A. A., & Lhteenmki, L. (2013). Avoiding food waste by Romanian consumers: The importance of planning and shopping routines. Food Quality and Preference, 28(1), 375--381. https://doi.org/10.1016/j.foodqual.2012.11.001

Wilson, N. L., Rickard, B. J., Saputo, R., & Ho, S. T. (2017). Food waste: The role of date labels, package size, and product category. Food Quality and Preference, 55, 35--44.

Alexander, C., & Smaje, C. (2008). Surplus retail food redistribution: An analysis of a third sector model. Resources, Conservation and Recycling, 52(11), 1290--1298.

FAO. (2013). Food wastage footprint: Impacts on natural resources. Rome: FAO.

IPCC. (2019). Climate Change and Land: Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change.

BAPPENAS. (2021). Kajian Sosial-Ekonomi Dampak Food Loss and Waste di Indonesia. Jakarta.

UNEP. (2021). Food Waste Index Report. United Nations Environment Programme.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun