Naskah ini menjadi semacam potret sosial budaya masyarakat desa Jawa pada masa kolonial akhir, lengkap dengan ketegangan antara adat, agama, dan naluri manusia.
Sampai kini belum dapat dipastikan apakah Serat Narasawan adalah bentuk kritik sosial, fiksi erotis semata, atau dokumentasi lisan yang dituliskan kembali dalam bentuk prosa. Tidak ada pesan moral eksplisit. Tokoh yang melakukan penyimpangan justru mendapat keberuntungan berupa kekayaan, jodoh, atau status sosial.
Ini menjadikannya berbeda dari naskah-naskah lain yang biasanya memuat ajaran hidup atau pesan spiritual. Dalam hal ini, Serat Narasawan menjadi lebih dekat dengan genre satir, walau tetap terbuka untuk penafsiran lain.
Membaca Serat Narasawan hari ini bukanlah soal menerima atau menolak isinya. Ini tentang belajar melihat bagaimana teks-teks masa lalu mengandung kompleksitas yang sering kali tak terlihat di permukaan. Ia adalah saksi dari bagaimana masyarakat menanggapi, menertawakan, bahkan mungkin menyiasati hasrat dan larangan sosial.
Naskah ini menunjukkan bahwa dalam kebudayaan Jawa, tidak semua teks adiluhung berbicara tentang kehalusan rasa. Ada pula ruang bagi narasi yang nakal, brutal, bahkan liar. Namun tetap menyimpan makna dan konteks yang layak dikaji.
Artikel ini disadur dari artikel ilmiah karya Salfia Rahmawati: "Fenomena Bestiality dan Spectrophilia pada Masyarakat Jawa dalam Serat Narasawan (PNRI/AS 75)", Universitas Indonesia, dipresentasikan dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2016.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI