Di antara ribuan manuskrip kuno yang tersimpan rapat di rak-rak Perpustakaan Nasional, terdapat satu naskah Jawa yang barangkali tak pernah dibayangkan akan memuat cerita seberani dan seterbuka itu. Judulnya Serat Narasawan (kode AS 75), naskah setebal 728 halaman yang ditulis pada awal abad ke-20 oleh seorang dalang bernama Cermapawira dari Godean, Yogyakarta. Namun isinya bukan tentang kepahlawanan, mistik keraton, atau ajaran hidup seperti Serat Centhini atau Babad Tanah Jawi. Naskah ini justru menyuguhkan kisah-kisah tentang hubungan seksual antara manusia dengan hewan dan makhluk halus.
Kita mungkin tergoda untuk langsung menilai isi naskah ini sebagai vulgar atau amoral. Namun jika kita berhenti sejenak dan mencoba memahaminya dalam konteks zamannya, Serat Narasawan justru menawarkan pandangan langka tentang bagaimana seksualitas, hasrat, dan mitos hidup berdampingan dalam jagat pemikiran masyarakat Jawa tempo dulu.
Isi naskah ini terdiri dari 15 bab cerita. Dari jumlah itu, 12 bab mengisahkan hubungan seksual antara manusia dengan hewan: sapi, kambing, kuda, kerbau, kijang, monyet, anjing, hingga orang utan. Sementara tiga bab lainnya menyuguhkan hubungan dengan makhluk halus seperti gendruwo dan peri. Polanya serupa. Seorang pemuda, dengan nama "Jaka", mengalami dorongan seksual yang kuat, namun tidak memiliki akses atau kesempatan untuk menyalurkan hasratnya pada manusia.
Banyak dari mereka menyalurkan dorongan itu kepada hewan gembalaan. Dalam cerita, tindakan ini bahkan digambarkan sebagai "pengobatan" terhadap kondisi psikis atau spiritual mereka. Contohnya, dalam cerita Jaka Badri yang menyetubuhi seekor kuda betina, hasil dari peristiwa itu bukan kutukan atau hukuman. Justru, kelahiran anak kuda berwajah manusia kemudian menjadi sumber kekayaan karena jadi tontonan warga.
Begitu juga Jaka Sudama. Ia memeras susu sapi tengah malam dan tak kuasa menahan hasrat. Dari peristiwa itu lahir anak sapi berekor tiga yang justru membawa berkah dan jodoh baginya.
Serat Narasawan secara tak langsung menggambarkan kondisi sosial dan psikologis masyarakat Jawa pada masanya. Tokoh-tokoh dalam cerita adalah pemuda desa, dengan pemahaman terbatas mengenai seks, hidup dalam sistem yang menempatkan seks sebagai hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Namun dorongan biologis tetap ada, dan pelampiasannya bisa mengambil bentuk yang ekstrem seperti dalam cerita-cerita naskah ini.
Dalam tradisi kejawen, seks bukan sekadar hubungan fisik, tetapi bagian dari pencarian keselarasan spiritual. Namun Serat Narasawan berbeda. Seks dalam naskah ini lebih menyerupai letupan naluriah, tanpa lapisan filsafat, tanpa pembenaran moral, dan tanpa ritual religius. Ia mentah dan jujur.
Naskah ini dilengkapi 105 ilustrasi yang mendukung isi cerita. Digambar dengan pensil warna, ilustrasi itu menampilkan tokoh manusia, hewan, makhluk halus, bahkan adegan-adegan seksual secara eksplisit. Gaya ilustrasi menggabungkan unsur naturalistis dan pewayangan. Ini adalah ciri khas karya seni Jawa masa 1900-an.
Secara visual, naskah ini bukan hanya bacaan, tapi juga tontonan. Ilustrasi menghidupkan narasi dan mempertegas bahwa tema seks dalam naskah ini bukan selingan. Ia adalah inti.
Meski topiknya berani, Serat Narasawan memuat gambaran mendalam tentang budaya Jawa. Penggunaan bahasa ngoko dan krama madya, keberadaan struktur sosial seperti demang dan mantri, serta keseharian seperti menggembala, berdagang, dan mencari kayu di hutan semua tergambar jelas. Kita juga melihat pengaruh religius yang bercampur. Tokoh perempuan dalam ilustrasi mengenakan kerudung, namun di sisi lain, praktik tapa dan semedi masih dijalankan sebagai warisan kepercayaan Hindu-Buddha.