Pemerintah Provinsi Jakarta sebagai etalase pemerintahan Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kebijakan publik yang berkualitas, cepat tanggap, dan tepat sasaran. Namun sayangnya, banyak kebijakan di ibukota justru masih dibuat secara reaktif, tanpa fondasi data yang kuat, bahkan kerap berubah hanya karena tekanan opini publik atau dinamika politik sesaat. Hal ini menjadi ironi besar bagi kota yang mengklaim dirinya sebagai "smart city".
Sebagai pengamat kebijakan publik, saya memandang pentingnya kehadiran BRIDA (Badan Riset dan Inovasi Daerah) sebagai think tank strategis di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. BRIDA bukan sekadar lembaga tambahan, melainkan elemen kunci dalam mengubah cara pemerintah daerah berpikir dan merumuskan kebijakan. Apalagi dengan kompleksitas permasalahan kota seperti kemacetan, polusi, tata ruang, hingga disrupsi digital, tidak mungkin semuanya dihadapi tanpa sistem pendukung kebijakan berbasis ilmu pengetahuan.
Jakarta Butuh Kebijakan, Bukan Gimik
Saya membayangkan, jika saya menjadi Gubernur DKI, maka setiap kebijakan yang saya buat harus didukung oleh data dan argumentasi yang kuat. Ketika saya mengeluarkan pernyataan ke publik, baik itu terkait transportasi, tata kota, penanganan banjir, hingga inovasi pelayanan publik, semuanya telah melalui kajian BRIDA. Maka saya bisa berdiri dengan percaya diri, karena setiap keputusan yang saya buat telah ditopang oleh riset, data ilmiah, dan analisis kebijakan yang utuh.
Saat ini, peran semacam itu belum optimal karena Jakarta belum secara resmi membentuk BRIDA seperti yang telah dilakukan oleh provinsi lain, seperti Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat. Padahal, menurut Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2021 dan Permendagri No. 7 Tahun 2023, BRIDA adalah instrumen utama bagi daerah untuk menyusun kebijakan berbasis riset dan inovasi.
BRIDA: Dari Data hingga Kebijakan
Dalam sebuah ekosistem kebijakan yang ideal, BRIDA dapat menjadi dapur pemikiran bagi Pemprov DKI. Mereka mengolah data yang dikumpulkan oleh Analis Data Ilmiah (JF ADI), mendiskusikannya bersama Peneliti (JF Peneliti), dan memproyeksikan dampaknya bersama Analis Pemanfaatan Iptek (JF API). Selanjutnya, hasil kajian tersebut dapat ditransformasikan menjadi policy brief yang akan digunakan oleh JF Analis Kebijakan untuk mendesain kebijakan konkret bagi kepala daerah.
BRIDA menjadi ruang kolaboratif yang menghubungkan berbagai jabatan fungsional, lembaga penelitian, akademisi, bahkan masyarakat sipil. Dalam teori Collaborative Governance (Ansell & Gash, 2008), pendekatan seperti ini sangat dibutuhkan ketika kita berhadapan dengan permasalahan publik yang kompleks dan membutuhkan partisipasi lintas aktor.
Bukan Sekadar Balitbangda Versi Baru
Masyarakat perlu memahami bahwa BRIDA bukanlah sekadar pengganti Balitbangda yang dulunya hanya menjalankan riset secara terbatas dan sektoral. BRIDA punya mandat yang lebih besar: merumuskan opsi kebijakan, mengevaluasi dampak, serta menjadi mitra strategis kepala daerah dalam agenda reformasi birokrasi dan inovasi layanan publik.