[caption id="attachment_200473" align="aligncenter" width="554" caption="Sugiyanti saat berada di Puncak Louser 3425 mdpl, Gunung Leuser Gayolues 2011 silam. (Foto Koleksi Bureg)"][/caption] LANGKA di Aceh, Indonesia bahkan dunia, seorang wanita punya minat besar dan mampu melakukan pendakian gunung yang melintasi berbagai macam rintangan. Rintangan atau halangan dari dalam diri sendiri maupun lingkungan, yang nyata atau mistis. Sugiyanti, seorang jilbaber kelahiran Tanah Merah Deleng Megakhe, Kecamatan Badar, Kutacane, 30 September 1986 silam, suka keindahan alam, rasa penasaran ada apa disana, belajar mengenali diri sendiri, rasa syukur kepada Allah SWT memutuskan untuk bergabung dengan Pecinta Alam Agara (GENTALA) dan di Mahsiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Gunung Leuser (UGL) Kuta Cane Aceh Tenggara. “Saya mendaki pertama kali di tahun 2007 silam. Kalo mengingat kejadian perdana mendaki sangat-sangat lucu. Cuma perempuan sendiri diantara kaum Adam. Dengan memakai rok panjang, berulang kali jatuh. Ya kemiringn gunung sekitar 70 derajat,” kenang Bureg (Boru Siregar), panggilan akrab Sugiyanti mengawali percakapan kami, Minggu 5 Agustus 2012. Pengalaman pertama yang sulit, tidak membuat Bureg patah semangat. Dia malah ingin dan ingin mendaki gunung lagi, malah yang lebih menantang. “Rasa ingin tahu ada apa dibalik bukit itu, dan warna apa dibalik kabut nan jauh disana. Belajar dan harus belajar sabar, ikhlas dan syukur kepada Sang Pencipta, membuat saya kepingin terus untuk mendaki gunung,” ujar gadis alumni Fakultas Pertanian UGL tahun 2012 ini. Pendakian pertama dilakukan Boreg ke Puncak Perkison Kutacane Aceh Tenggara dengan ketinggian 2828 Meter Diatas Permukaan Laut (mdpl) dengan menempuh selama 1 minggu perjalanan. Gunung berikutnya Burni Telong, Bener Meriah, Gunung Leuser 3425 mdpl yang ditempuh selama 15 hari bersama Kopassus dan TNI AD. Lalu Gunung Seulawah bersama cewek-cewek Mapala se-Aceh. Gunung Sinabung bersama beberapa perwakilan Mapala Aceh-Sumut. “Saya pengen ngibari merah putih di gunung-gunung luar Aceh bahkan dunia bang, tapi kapan ya?. Peluang dan kesempatan belum berpihak kepada saya,” ujar Bureg lirih. Karena perempuan, ditanya apa tidak ada kekhawatiran saat mendaki bersama sejumlah laki-laki yang bukan muhrim serta harus menantang alam saat melakukan pendakian. Bureg bergumam panjang. “Emmm...tergantung tipe wanitanya bang. Bagi Bureg gak ribet-ribet amat kok. Namun harus safety kewanitaan aja. Pengakuannya, ini pertanyan yang sering jadi biang kesalahfahaman bagi mereka yang kurang tau kondisi di hutan. “InsyaALLAH selama perjalanan pendakian, Bureg gak pernah dilecehkan oleh kaum Adam, malah kita-kita sangat saling menjaga,” kata Bureg. Jangankan dilecehkan, diremehkanpun belum pernah. Dan jika itu terjadi pasti sejak dulu sudah saya hentikan pendakian, timpalnya bersemangat. “Saya bangga dengan tali persaudaraan sesama anak pendaki, walau terkadang sebelumnya kita gak saling kenal,” kata Bureg. Tantangan lain dalam pendakian, bagi Bureg diantaranya cerita-cerita mistis. “Wooow....Atut! Hehehee..,” Bureg tertawa saat ditanya apakah pernah kerasukan atau bertemu makhlus halus di hutan. “Saya gak pernah ketemu langsung, tapi merasakan mereka hadir didekat kita, Intinya jangan takabur dan hormati keberadaan mereka. Saat tidur saya kerap mimpi bertemu mereka, apalagi ketika rasa lelah memuncak,” kata Bureg. [caption id="attachment_200475" align="alignright" width="260" caption="Sugiyanti di puncak Gunung Perkison 2828 mdpl, Kutacane, Januari 2008 bersama Komunitas Pecinta Alam Generasi Pecinta Alam Aceh Tenggara (KPA GENTALA). (Foto Koleksi Bureg)"]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI