Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cerita Haji (3): Berhajilah Kala Muda

14 Agustus 2016   22:25 Diperbarui: 21 Agustus 2016   22:17 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: galamedianews.com

Tidak terasa, sudah setahun waktu berlalu. Satu-persatu jamaah haji 2016 yang masuk Gelombang I telah diterbangkan. Ada suasana batin yang tidak bisa dilukis ketika menyaksikan televisi menayangkan saat-saat mereka mengantri menanti keberangkatan di bandara. Begitu juga ketika tadi bersalipan dengan rombongan bis haji yang dikawal polisi. Duhai Rabb, air mata dan degup di dada ini sebagai saksi betapa Mekkah Madinah menjadi magnet hati ini. Berdebar rasanya ketika mengingat detik-detik hendak mengunjungi Baitullah...

Ah ya, masih ada tulisan tentang pengalaman haji yang belum selesai. Artikel tersebut saya tulis di hari-hari terakhir di Madinah. Kesibukan membuat diri tak luang untuk menyelesaikannya hingga tak dinyana setahun telah berlalu. Tapi malam ini, hasrat untuk menyelesaikannya sangat besar....

===========================================

 “Mbaknya dari Ashar sampai Isya’ bisa nahan pipis dan kentut? Ya.... Mbaknya kan masih muda, saya ini kan sudah tua. Saya ini kentutan setiap 5 menit, Mbak. Jadi saya kan harus wudhu kalau mau sholat...” kata Ibu Yatmi, sebut saja begitu, yang hari itu minta didampingi oleh saya.

Astaghfirullaah...  Astaghfirullaah...  Astaghfirullaah...

Ya Rabb, sabarkan hamba bila ini ujian...


Ya, wajah saya langsung kecut mendengar kalimat ibu yang berusia sekitar 65 tahun tersebut. Kepala saya langsung membayangkan bagaimana bila sepanjang Ashar hingga Isya’ harus bolak-balik mengantar Ibu tersebut ke kamar mandi yang berada di luar Masjidil Haram yang berjarak beberapa ratus meter dan harus berdesak-desakan, padahal posisi kami berada di dekat Ka'bah...

Kepala saya langsung mengingat bagaimana ketika berangkat bersama Bu Yatmi ini sempat 2 kali menunggu lantaran si Ibu minta waktu untuk bersalin baju dan kemudian ketika sudah keluar dari lift di lantai dasar, si Ibu ternyata memakai kaos kaki yang berbeda kanan-kiri sehingga beliau minta kembali ke kamar yang berada di lantai 9.

 “Iya Bu, nanti saya atau suami saya mengantarkan Ibu ke toilet di luar ya. Maaf ya Bu, gara-gara saya ngajak sholat dekat Ka’bah, malah bikin Ibu kesulitan ke toilet. Ini kan pertama kalinya saya bersama Ibu. Saya tidak tahu kalau Ibu lebih suka sholat di luar supaya mudah ke toilet,” jawab saya tetap tersenyum.

“Iya Mbak, saya juga minta maaf ya. Tolong dimaklumi, saya kan sudah tua. Saya juga maunya enggak kentutan, tapi gimana lagi. Mosok saya enggak wudhu setelah kentut. Saya kuat kalau nahan pipis, tapi kalau kentut itu yang gak bisa. Saya ini butuh tempat wudhu, bukan tempat pipis,” sahutnya lagi.

“Oooooo, iya Bu. Entar saya coba tanya di mana tempat wudhu terdekat di dalam sini ke petugas bersih-bersih ya Bu,” balas saya sembari manggut-manggut sembari meragukan adanya tempat wudhu di dalam Masjidil Haram.

Tapi... Allah baik sekali. Keraguan saya langsung pudar. Mbak-mbak petugas bersih-bersih di Masjidil Haram menunjukkan tempat wudhu tepat persis di belakang area sholat kami. Jaraknya hanya sekitar 10 m. Saya mengantar Bu Yatmi hanya sekali, selanjutnya beliau yang wira-wiri seorang diri. “Sudah Mbak, saya sekali saja diantarnya. Tempatnya kan dekat. Tuuuh, kelihatan. Saya bisa jalan sendiri kok ke sana.”

Alhamdulillaah, Engkau ringankannya dan juga aku ya Rabb...

---------------

Memang, sejak mengikuti manasik haji di Pendopo Kabupaten, saya sudah meniatkan diri bahwa kepergian saya bukan sekedar beribadah haji, tapi juga untuk membantu para lansia mengingat banyak sekali calon jamaah yang mayoritas lansia. Rata-rata usia jamaah haji dari kabupaten saya berusia 50 tahun ke atas dengan dominasi usia di atas 60 tahun. 

Mengingat kondisi saya sebelum keberangkatan mengalami drop, saya selalu berdoa minta diberi kesehatan dan dimampukan Allah untuk melaksanakan ibadah haji dan juga membantu mereka. Ya, jujur saja, selain jarang olahraga karena rutinitas yang menyita waktu, saya sebenarnya tidak yakin dengan kemampuan diri untuk menjalani seluruh rangkaian prosesi ibadah haji. Obat semprot asma selalu setia berada dalam tas paspor saya...  

Seperti yang satu tulis di Cerita Haji (1), teman sekamar saya di pemondokan di Mekkah, dua orang berusia 65 tahun dan satu berusia 58 tahun. Satu diantaranya yang berusia 65 tahun itu selalu pipis tanpa ia menyadarinya. Beberapa hari pertama, kamar mandi sering berbau pesing. Setelah selidik penuh selidik, akhirnya saya mengetahui penyakit Ibu tersebut. 

Saya ajak Ibu itu ke klinik kesehatan sembari berupaya mencari diapers untuk orang tua untuk mengurangi dampak pipisnya itu. Ibu satunya lagi yang berusia 58 tahun, memang tidak bermasalah dengan pipis, tetapi untuk kegiatan yang diperkirakan sulit baginya untuk bolak-balik ke toilet, ia juga menggunakan diapers. Dan saya juga membantu memasangkannya...

Ya, faktor usia menjadi persoalan tersendiri bagi jamaah haji. Saya yang belum genap usia 40 tahun pun merasakan betapa beratnya prosesi haji, terlebih bagi mereka yang lansia. Ujian dimulai ketika turun dari bandara Jeddah. Proses administrasi di imigrasi, menunggu, dan naik turun tangga dengan tas tenteng lebih dari 10 kilo itu berasa beraaat sekali setelah sebelumnya harus melalui penerbangan selama hampir 10 jam. 

Setelah itu, beberapa waktu kami masih harus menunggu di bandara yang kemudian melanjutkan perjalanan Jeddah-Mekkah dan sampai di hotel langsung dilanjutkan dengan umroh wajib. Memang benar jarak hotel yang menjadi pemondokan kami itu sekitar 1 km, namun dengan kondisi jalan yang menanjak, kami semua merasakan ngos-ngosan setiba di Masjidil Haram. Umroh wajib yang kami jalani berasa sekali beratnya ..

Selama 5 hari pertama di Mekkah, KBIH kami memiliki program 4 kali umroh. Umroh ke-1, 2, 3... masih bisa dilalui. Umroh ke-4, banyak yang tidak hadir karena sudah ‘bertumbangan’. Waktu umroh yang berdekatan memang kurang kondusif buat kami. Namun karena keinginan kuat untuk bisa melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan ibadah yang telah diagendakan, maka kami semua berjuang untuk mengikuti umroh sunnah.

Selanjutnya, ketika keberangkatan ke Arafah untuk menanti waktu wukuf, kloter saya mendapat nomor urut 1 sehingga harus berada di Arafah sekitar 33-35 jam. Hari pertama, 8 Dzulhijah, kami benar-benar ‘digembleng’ Allah. Ada yang menyebutkan temperatur saat itu 57 derajat celcius, tapi juga ada yang menyebut 50 derajat celcius. 

Entahlah, tapi tenda tak ber-AC itu sungguh menggelisahkan. Tidak tidur, salah. Tidur, salah. Semua serba salah. Bertilawah, tak mampu bertahan lama. Hanya istighfar yang banyak terucap lirih sembari memohon agar dimampukan untuk menjalani seluruh rangkaian haji mulai dari wukuf, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah, hingga menjalani tawaf dan sa’i. Ya, sembari bercucur air mata, saya tak berhenti-berhenti meminta dimampukan menjalani seluruh proses ibadah haji. Belum juga menjalani wukuf di 9 Dzulhijah, nyali saya sudah ciut merasa seolah tak mampu menjalaninya...

Pada 8 hingga 9 Dzulhijah, ada saja yang jatuh sakit. Ada yang karena tidak mau makan, lalu mereka lemas. Tapi sebagian besar karena dehidrasi. Setidaknya cerita dari seorang kenalan yang berasal dari Bogor, di kloter mereka banyak sekali yang diberi infus oleh dokter kloter. Dan mereka-mereka itu adalah para lansia. Dokter kloter sampai berulang kali meminta kepada jamaah untuk banyak minum agar tidak bertambah yang 'bertumbangan', ditambah lagi stok infus sangat terbatas dan sudah banyak dipakai.

Buat saya, 8 Dzulhijah menjadi puncak terberat dalam prosesi ibadah haji saat itu. Cuaca benar-benar menjadi ujian luar biasa bagi kami sepanjang pagi hingga sore hari. Air mata sudah tak mampu menitik. Hanya doa lirih nan lemah yang bisa saya bisikkan untuk menguatkan hati dan pikiran bahwa apa yang kami hadapi adalah ibadah dan harus ikhlas dalam menjalaninya.

Usai Maghrib, sampailah kami pada malam 9 Dzulhijjah. Sekitar jam 10-11 malam, badai pasir kembali terjadi bersamaan dengan gemuruh petir yang memekik diiringi angin kencang. Semua terperangah menyaksikan langit-langit tenda menari-nari seolah hendak terbang ke langit. Suara istighfar dan doa bersahut-sahutan dari bibir jamaah di dalam tenda saya. Saya yakin, tak ada yang tak takut dengan situasi malam itu. Alhamdulillah, 20-30 menit ketakutan itu perlahan mereda seiring angin dan petir yang seolah tak pernah terjadi. Subhanallah...

Akhirnya, sampai juga pada 9 Dzulhijjah pagi. Tempaan sehari sebelumnya telah membuat fisik saya adaptif terhadap cuaca di Arafah. Ditambah lagi azzam yang sangat besar untuk menyambut waktu dimana Allah berjanji akan mengabulkan semua doa. Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah kan....

Usai Dhuhur dan mengikuti khutbah Arafah oleh pendamping kloter kami, saya pun kemudian menengadahkan tangan. Doa-doa saya pintakan sembari air mata bercucuran membayangkan beratnya prosesi haji yang saya dan jamaah haji lalui. Mengingat betapa teriknya matahari pada 8 Dhulhijjah, saya membayangkan betapa panasnya kami semua ketika dikumpulkan di Padang Mahsyar kelak dengan matahari yang begitu dekatnya dengan ubun-ubun kepala kami. 

Doa-doa terlantun tidak hanya untuk diri, keluarga, tapi juga saudara, sahabat --baik yang menitipkan doa maupun tidak, insyaAllah tidak ada yang terlupa— bangsa, negara, bahkan juga saudara-saudara muslim di mana saja berada, terutama yang tengah dizalimi, diperangi, dan yang tengah diuji bencana dan penderitaan. Doa untuk para pemimpin, tak lupa terucapkan pula. Sungguh, tak ingin sedetik pun waktu mustajab tersebut berlalu begitu saja. Mengingat berbagai dosa khilaf maksiat di masa lalu, air mata tak habis-habisnya bercucuran memohon ampun...

Ketika mata sudah mulai terasa panas dan bengkak, barulah saya melayangkan pandangan kepada sekitar. Duhai Rabb, mengapa begitu banyak yang mengobrol mengelompok sembari tertawa-tawa? Dan mengapa banyak yang (ter) tidur...? Apakah mereka sakit atau lelah luar biasa sehingga tak bermunajat kepadaMu di waktu Arafah ini? Ya Rabb, izinkan hamba untuk menjadi hamba yang beruntung yang tidak menyia-nyiakan waktu mustajab yang sudah Engkau janjikan...

Akhirnya, usailah wukuf sebagai puncak dari ibadah haji. Ada perasaan bahagia penuh syukur telah melaluinya. Saya yang underestimate terhadap diri, ternyata dimampukan Allah untuk menjalaninya. Selanjutnya, sebelum Maghrib tiba, kloter kami beranjak ke Muzdalifah untuk mabit hingga tengah malam. Setelahnya, kami menuju Mina untuk melempar jumrah.

Melempar jumrah. Huffffhhhh.... Sebagaimana ketika melakukan umroh wajib dengan tingkat kelelahan yang tinggi, situasi fisik kami pagi 10 Dzulhijjah itu juga tidak berbeda jauh. Sebuah plang menginformasikan bahwa jarak posisi kami kepada lokasi Jumrah ‘Ula sekitar 3 km. Akhirnya, saya dan banyak jamaah lainnya tidak membawa botol air minum karena jarak tempuh yang relatif tidak begitu jauh. 

Dan... bersama-sama rombongan, saya menyusuri jalan untuk melaksanakan Jumrah ‘Ula. 1 km... 2 km... 3 km... Kami mulai saling bertanya mengapa belum sampai kepada lokasi melempar jumrah. 4 km... 5 km... 6 km... Saya mulai tidak mau berhitung-hitung jarak karena sudah tak mampu lagi memperkirakan berapa sesungguhnya jarak asli menuju lokasi melempar jumrah. Air liur kering. Nafas juga sudah menghembus keras. Hingga akhirnya, alhamdulilaah, sampai juga...

Usai melempar jumrah, energi seolah kembali pulih. Rombongan kami lalu kembali ke tenda. Menyusuri jalan.... 1 km.... 2km... 3km... 4km... Ya Allah, betapa jauhnya ternyata tempat kami menginap dengan lokasi lempar jumrah ini. Kuatkan ya Rabb... Kuatkan ya Rabb...  Kuatkan ya Rabb...

Esok hari, kembali rombongan kami akan melempar jumrah. Kali ini adalah Jumrah Wustho. Banyak yang ‘bertumbangan’ dan memilih diwakili oleh pasangannya untuk melempar jumrah. Semuanya termasuk kategori lansia. Berbekal pengalaman sebelumnya, maka kali ini saya dan para jamaah lainnya sudah menyiapkan botol air minum. Kuatkan ya Rabb... Kuatkan ya Rabb...  Kuatkan ya Rabb...

Alhamdulilaah, Allah masih berkenan mengizinkan kami menyelesaikan Jumrah Wustho. Diantara kebahagiaan yang membuncah, ada perasaan sedih di hati saya ketika mengetahui diantara mereka yang ‘bertumbangan’ ternyata ada yang keluar dari tenda untuk berbelanja oleh-oleh... Duhai Rabb, bila mereka tidak kuat melaksanakan jumrah, tetapi mengapa mereka malah menggunakan waktunya untuk berbelanja-belanja? Jangan Engkau marah kepada mereka ya Rabb... 

Akhirnya, waktu untuk Jumrah Aqobah. Kali ini, mungkin juga karena mengingat ini adalah kegiatan terakhir dari melempar jumrah, fisik sudah adaptasi dan stamina terasa lebih baik menjalani wajib haji ini. Bila tidak salah ingat, jamaah yang  mengikuti Jumrah Aqobah  ini lebih banyak daripada Jumrah Wustho. Bisa jadi karena yang sebelumnya ‘bertumbangan’ memiliki waktu istirahat lebih banyak sehingga fisiknya pulih dan mampu untuk kembali melempar jumrah.

============================

Ya, saya sering membaca dan mendengar bahwa prosesi ibadah haji menuntut kekuatan fisik. Namun, tidak pernah terbayangkan betapa ternyata kekuatan fisik ini benar-benar membutuhkan stamina luar biasa. Saya dan jamaah haji lainnya yang berusia kurang dari 40 tahun saja merasakan beratnya kami menjalani prosesi haji, apalagi mereka para lansia. Tak ada yang tidak mengeluhkan kakinya yang kram, keseleo, seperti mau patah, dan lain-lainnya. Sungguh, betapa kalau tidak Allah menolong saya, saya pasti termasuk dari mereka-mereka yang ‘bertumbangan’....

Sungguh, bila mampu, segerakanlah berhaji ketika muda. Jangan menunggu usia lanjut. Walaupun antrian haji mengular belasan atau puluhan tahun, paling tidak segeralah mendaftar porsi. Biar Allah yang menentukan kapan akan memanggil kita ke Baitullah. Juga, bila sewaktu-waktu Allah memanggil kita ke haribaanNya meski belum berangkat haji, insyaAllah Allah sudah mencatat upaya dan kesungguhan kita untuk melaksanakan Rukun Islam ke-5 ini setara dengan pahala berhaji.  

Selamat beribadah haji. Selamat memenuhi panggilanNya. Semoga menjadi haji mabrur...

Labbaika allahumma labbaik... Laa syariika laka labbaik... Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk... Laa syariikalak....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun