Proyek bentukan Bung Karno dengan jargon “mercusuar”-nya dengan diadakannya pembentukan stasiun televisi yang kelak dinamai Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadikan suatu proyek yang tepat untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia yang notabene baru merdeka. Bayangkan saja, 17 tahun baru merdeka sudah berani menyelenggarakan Asian Games 1962. Dengan itu pula, momen yang tepat TVRI didirikan yang menjadikan Indonesia menjadi Negara keempat di Asia yang memiliki televisi setelah Jepang, Filipina dan Thailand. TVRI di masa itu adalah suatu media yang perangkat pembangunan nasional, alat revolusi, dan alat pembentukan manusia sosialis Indonesia.
Masa Orde Baru tiba, tak jauh-jauh amat. Kedua rezim ini menyadari “bakat terpendam” dari suatu televisi, maka mereka memanfaatkannya untuk menjaga kestabilan nasional, tentunya dengan kontrol yang ketat. Dalam program acara berita misalnya, Berita Nasional TVRI kebanyakan hanya diisi oleh liputan-liputan “gunting pita” dan seremonial belaka oleh para pejabat Negara yang dianggap masyarakat menjemukan. Berbeda dengan Dunia Dalam Berita TVRI yang masih “diijinkan” menempati hati masyarakat, karena muatannya peristiwa luar negeri yang jauh dari kesan seremonial yang dianggap masyarakat lebih variatif.
[caption id="attachment_300638" align="aligncenter" width="583" caption="Mana Suka Siaran Niaga TVRI (http://www.youtube.com/watch?v=xHrNMLIISYQ)"][/caption] Kontrol pemerintah dalam pertelevisian juga terjadi dalam hal penayangan iklan. Sebelum 1981, masyarakat bisa menyaksikan iklan dalam suatu acara paket khusus iklan, program itu kerap disebut Manasuka Siaran Niaga. TVRI menayangkan berbagai macam iklan dalam satu paket yang berdurasi 30 menit. Beragam iklan dan jargonnya kerap melekat dan diingat masyarakat. Ya, dulu TVRI memang mendesign acaranya tanpa jeda iklan sama sekali. Berbeda dengan sekarang, yang tiap jeda acara selalu diselingi oleh iklan.
[caption id="attachment_300639" align="aligncenter" width="572" caption="Iklan yang tayang dalam Manasuka Siaran Niaga TVRI (Sumber: Kanal Audhra, Youtube)"]
Pelarangan tayangan iklan tentu menjadi hal buruk dan tidak menguntungkan bagi TVRI. Iklan menjadi andalan dana bagi TVRI selain APBN tentunya. Hal ini berdampak pada tayangan-tayangan TVRI yang menjadi makin membosankan. Masyarakat makin disuguhi oleh berita-berita seremonial yang bisa dibilang membosankan. Tanpa iklan, masyarakat kehilangan hiburan. Ya, setidaknya ada sisi hiburan yang didapat masyarakat dalam penayangan iklan tersebut. TVRI menjadi bergantung terhadap pemerintah. Dan juga, mau tak mau TVRI lebih mementingkan ideologis pemerintah dalam pemberitaannya, kasihan TVRI.
Larangan tayangan iklan ini malah berdampak langsung terhadap masyarakat. Bagaimana tidak? Wong masyarakat yang harus membiayai operasional TVRI. Dengan mengadakan iuran televisi setiap bulannya ke rumah-rumah di seluruh penjuru Indonesia. Hal ini seperti biaya berlangganan televisi kabel berbayar semacam Indovision dan sebagainya di masa sekarang.
[caption id="attachment_300645" align="aligncenter" width="552" caption="Buku Iuran TVRI setelah muncul beberapa TV swasta (jimmysun.net)"]
Memang menjadi pelayan masyarakat itu susah-susah gampang. Media dituntut agar menyajikan hiburan yang kian hari kian menarik dan beragam. Tak seperti masa lalu, saat televisi hanya satu-satunya dan dikontrol pula. Masa sekarang pun tampak tak jauh beda, walau sudah beragam dan banyak. Namun tayangan yang disajikan di layar kaca tampak “itu-itu saja” dan kurang variatif. Misalnya tayangan sinetron yang kian berlarut-larut episodenya dan infotainment yang kian hari kian membosankan. Rating yang menjadi patokan di masa sekarang. Jika rating rendah, pemasukan iklan juga rendah. Dilema memang pertelevisian kita sekarang. Meniru ciri khas dubbingan anime Jepang di televisi: Apa boleh buat?