Mohon tunggu...
Khafid Aura Kencana
Khafid Aura Kencana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Just ordinary guy who try to be an extraordinary guy | Communication | UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013 | Blora - Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kendala Menjadi Publik Seutuhnya

23 Desember 2013   08:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proyek bentukan Bung Karno dengan jargon “mercusuar”-nya dengan diadakannya pembentukan stasiun televisi yang kelak dinamai Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadikan suatu proyek yang tepat untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia yang notabene baru merdeka. Bayangkan saja, 17 tahun baru merdeka sudah berani menyelenggarakan Asian Games 1962. Dengan itu pula, momen yang tepat TVRI didirikan yang menjadikan Indonesia menjadi Negara keempat di Asia yang memiliki televisi setelah Jepang, Filipina dan Thailand. TVRI di masa itu adalah suatu media yang perangkat pembangunan nasional, alat revolusi, dan alat pembentukan manusia sosialis Indonesia.

Masa Orde Baru tiba, tak jauh-jauh amat. Kedua rezim ini menyadari “bakat terpendam” dari suatu televisi, maka mereka memanfaatkannya untuk menjaga kestabilan nasional, tentunya dengan kontrol yang ketat. Dalam program acara berita misalnya, Berita Nasional TVRI kebanyakan hanya diisi oleh liputan-liputan “gunting pita” dan seremonial belaka oleh para pejabat Negara yang dianggap masyarakat menjemukan. Berbeda dengan Dunia Dalam Berita TVRI yang masih “diijinkan” menempati hati masyarakat, karena muatannya peristiwa luar negeri yang jauh dari kesan seremonial yang dianggap masyarakat lebih variatif.

[caption id="attachment_300638" align="aligncenter" width="583" caption="Mana Suka Siaran Niaga TVRI (http://www.youtube.com/watch?v=xHrNMLIISYQ)"][/caption] Kontrol pemerintah dalam pertelevisian juga terjadi dalam hal penayangan iklan. Sebelum 1981, masyarakat bisa menyaksikan iklan dalam suatu acara paket khusus iklan, program itu kerap disebut Manasuka Siaran Niaga. TVRI menayangkan berbagai macam iklan dalam satu paket yang berdurasi 30 menit. Beragam iklan dan jargonnya kerap melekat dan diingat masyarakat. Ya, dulu TVRI memang mendesign acaranya tanpa jeda iklan sama sekali. Berbeda dengan sekarang, yang tiap jeda acara selalu diselingi oleh iklan.

[caption id="attachment_300639" align="aligncenter" width="572" caption="Iklan yang tayang dalam Manasuka Siaran Niaga TVRI (Sumber: Kanal Audhra, Youtube)"]

138776096727715882
138776096727715882
[/caption] Namun, setelah 1981 pemerintah membuat keputusan mengejutkan bahwa TVRI tak diperbolehkan lagi menayangkan iklan. Ironis, karena sebagian pendapatan terbesar TVRI ialah dari pemasang iklan. Alasan resmi pemerintah kala itu ialah masyarakat perlu dilindungi dari budaya konsumerisme yang hadir dalam iklan-iklan TVRI tersebut dan juga mencegah masuknya “westernisasi” ke Indonesia yang ditakutkan akan merusak ketimuran Indonesia. Masuk akal sebenarnya, melihat TVRI menayangkan iklan yang bisa dibilang “metropolis” yang apabila dilihat oleh masyarakat pedesaan membuat “kecemburuan sosial” karena mereka tak dapat membeli barang yang diiklankan tersebut, entah karena masalah kurang dana ataupun wilayah yang tak terjangkau oleh penyediaan barang yang dijajakan dalam iklan tersebut.

Pelarangan tayangan iklan tentu menjadi hal buruk dan tidak menguntungkan bagi TVRI. Iklan menjadi andalan dana bagi TVRI selain APBN tentunya. Hal ini berdampak pada tayangan-tayangan TVRI yang menjadi makin membosankan. Masyarakat makin disuguhi oleh berita-berita seremonial yang bisa dibilang membosankan. Tanpa iklan, masyarakat kehilangan hiburan. Ya, setidaknya ada sisi hiburan yang didapat masyarakat dalam penayangan iklan tersebut. TVRI menjadi bergantung terhadap pemerintah. Dan juga, mau tak mau TVRI lebih mementingkan ideologis pemerintah dalam pemberitaannya, kasihan TVRI.

Larangan tayangan iklan ini malah berdampak langsung terhadap masyarakat. Bagaimana tidak? Wong masyarakat yang harus membiayai operasional TVRI. Dengan mengadakan iuran televisi setiap bulannya ke rumah-rumah di seluruh penjuru Indonesia. Hal ini seperti biaya berlangganan televisi kabel berbayar semacam Indovision dan sebagainya di masa sekarang.

[caption id="attachment_300645" align="aligncenter" width="552" caption="Buku Iuran TVRI setelah muncul beberapa TV swasta (jimmysun.net)"]

138776189932376933
138776189932376933
[/caption] Sementara iuran masih berjalan beberapa tahun, televisi swasta bermunculan. Dana mereka diperoleh dari iklan. Setelah RCTI berdiri, masyarakat Jakarta dapat menyaksikan iklan setelah berpuluh-puluh tahun tak bisa menyaksikannya. Apalagi setelah RCTI menjangkau lebih banyak wilayah Indonesia pada 1992. Masyarakat dapat memenuhi keinginannya menyaksikan hiburan yang berkualitas dan diselingi oleh iklan yang lama tak pernah disaksikannya. Dan diiringi pula oleh semakin banyak berdirinya stasiun televisi swasta di Indonesia hingga saat ini.

Memang menjadi pelayan masyarakat itu susah-susah gampang. Media dituntut agar menyajikan hiburan yang kian hari kian menarik dan beragam. Tak seperti masa lalu, saat televisi hanya satu-satunya dan dikontrol pula. Masa sekarang pun tampak tak jauh beda, walau sudah beragam dan banyak. Namun tayangan yang disajikan di layar kaca tampak “itu-itu saja” dan kurang variatif. Misalnya tayangan sinetron yang kian berlarut-larut episodenya dan infotainment yang kian hari kian membosankan. Rating yang menjadi patokan di masa sekarang. Jika rating rendah, pemasukan iklan juga rendah. Dilema memang pertelevisian kita sekarang. Meniru ciri khas dubbingan anime Jepang di televisi: Apa boleh buat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun