Diskusi tentang urbanisasi dan pariwisata bisa dikaitkan dengan dampaknya terhadap keseimbangan tata ruang tradisional.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti:
Membahas parhyangan melalui kegiatan spiritual di sekolah, entah berupa doa, persembahyangan bersama, atau penghormatan terhadap perbedaan keyakinan.
Guru dapat menekankan bahwa menghormati keberagaman agama di sekolah adalah bagian dari implementasi THK.
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5):
Sekolah bisa membuat projek lingkungan berbasis THK, seperti "Sekolah Hijau Berbasis Tri Hita Karana" di mana siswa menanam pohon, mengurangi plastik, dan mengelola sampah.
Dengan pendekatan ini, THK tidak sekadar dipelajari sebagai konsep budaya, melainkan menjadi lensa untuk memahami berbagai mata pelajaran.
3. Contoh Penerapan Nyata di Kelas
Mari kita bayangkan sebuah kelas IPA di SMP di Bali. Guru sedang membahas topik "Daur Air." Daripada hanya menjelaskan siklus evaporasi, kondensasi, dan presipitasi, guru bisa menambahkan refleksi: bagaimana kualitas air di sungai desa dipengaruhi oleh perilaku manusia? Apa dampaknya jika sampah plastik menumpuk di sungai? Dari sini, guru lalu mengaitkan dengan nilai palemahan---bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga keseimbangan hidup.
Di kesempatan lain, saat ada kegiatan pesraman kilat (pendidikan berbasis pura), siswa diajak memahami peran pura dalam kehidupan masyarakat. Guru IPS bisa menjelaskan bahwa pura bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat aktivitas sosial dan budaya. Nilai parhyangan sekaligus pawongan ditanamkan secara konkret.
Selain itu, kerja kelompok di kelas bisa dirancang agar menekankan nilai pawongan: menghargai pendapat teman, saling membantu, dan menyelesaikan konflik secara damai. Guru tidak hanya menilai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja sama mencerminkan harmoni.