Pendahuluan
Bali dikenal luas sebagai surga dunia. Keindahan pantai, sawah berundak, pura, dan tradisi budaya membuatnya menjadi destinasi impian wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Namun di balik lanskap yang memesona itu, ada sebuah filosofi mendalam yang menjadi roh kehidupan masyarakat Bali: Tri Hita Karana (THK).
Tri Hita Karana bukan sekadar istilah indah yang sering kita dengar saat ada festival budaya atau pertemuan internasional. Ia adalah filosofi hidup yang membentuk cara masyarakat Bali menata ruang, membangun relasi sosial, dan bahkan merancang pendidikan. Nilai-nilainya hidup dalam keseharian: bagaimana pura dibangun di titik tertentu, bagaimana rumah-rumah tradisional diatur, bagaimana masyarakat menjaga alam, dan bagaimana kebersamaan terjalin.
Namun, di era modern yang penuh tantangan global---mulai dari krisis lingkungan, degradasi moral, hingga pergeseran budaya---muncul pertanyaan: bagaimana kita dapat terus mewariskan nilai-nilai THK ini? Apakah ia hanya akan menjadi cerita dalam buku sejarah, atau bisa dihidupkan kembali dalam ruang-ruang yang paling dekat dengan kita, seperti ruang kelas di sekolah menengah pertama (SMP)?
Tulisan ini mencoba menggali dua hal utama: pertama, bagaimana implementasi THK tampak nyata dalam tata ruang Bali; kedua, bagaimana nilai tersebut bisa diintegrasikan dalam kurikulum dan pengajaran di SMP. Tujuannya sederhana: agar kita tidak hanya mengenang THK sebagai warisan, melainkan juga menghidupkannya sebagai pedoman bagi generasi muda yang sedang belajar menjadi manusia seutuhnya.
Pembahasan
1. Tri Hita Karana dalam Tata Ruang Bali
Untuk memahami mengapa THK relevan dalam pendidikan, kita perlu melihat dulu bagaimana ia hidup dalam tata ruang Bali. Tiga pilar utama THK adalah:
Parhyangan -- hubungan harmonis manusia dengan Tuhan.
Pawongan -- hubungan harmonis manusia dengan sesama.