Masalah buku palsu atau bajakan sudah menjadi bagian dari kehidupan literasi di Indonesia. Hampir semua mahasiswa, guru, atau pembaca umum pernah melihat atau bahkan membeli buku bajakan, baik sadar maupun tidak. Biasanya buku ini dijual di pinggir jalan, toko daring dengan harga sangat murah, atau melalui media sosial. Sekilas, buku bajakan tampak sama dengan yang asli. Namun, setelah diperhatikan, perbedaannya jelas terlihat. Kertasnya tipis, tinta cepat pudar, sampul buram, dan kadang isinya tidak lengkap.
Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kerugian akibat peredaran buku bajakan mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Penulis kehilangan royalti, penerbit kehilangan pendapatan, dan pemerintah kehilangan pajak. Lebih dari itu, masyarakat juga dirugikan karena kualitas bacaan mereka menurun.
Pemalsuan buku tidak hanya terjadi pada bentuk fisik. Perkembangan internet dan digitalisasi justru membuat penyebaran buku bajakan semakin mudah. File PDF dari buku asli bisa tersebar bebas di forum daring, grup WhatsApp, atau Telegram. Sekali terunggah, hampir mustahil untuk menariknya kembali. Akibatnya, peredaran buku digital bajakan sulit dikendalikan.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya membeli buku asli masih rendah. Banyak orang berpikir membeli buku bajakan tidak merugikan siapa pun. Padahal, kebiasaan ini menghancurkan ekosistem literasi secara perlahan. Penulis jadi malas menulis, penerbit enggan berinvestasi, dan budaya membaca kehilangan kualitas.
Melihat masalah tersebut, kita perlu mencari solusi yang lebih efektif. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI). Teknologi ini bisa dipakai untuk mendeteksi dan membedakan buku asli dengan yang palsu. AI mampu menganalisis teks, gambar, dan data lain yang ada dalam sebuah buku. Jika sistem ini dikembangkan dengan baik, peredaran buku palsu bisa ditekan secara signifikan
        Artificial Intelligence (AI) merupakan bidang ilmu komputer yang berfokus pada pengembangan sistem cerdas yang mampu meniru cara berpikir dan mengambil keputusan layaknya manusia. Dalam konteks pendeteksian buku palsu, AI memiliki potensi yang sangat besar. Melalui teknologi Natural Language Processing (NLP), AI dapat menganalisis isi atau teks dalam sebuah buku dan membandingkannya dengan basis data resmi. Dengan cara ini, sistem mampu mendeteksi perbedaan isi antara buku asli dengan buku tiruan yang menggunakan judul serupa, namun memiliki konten yang berbeda. Buku hasil pemindaian ilegal yang biasanya ditandai dengan banyak kesalahan ketik, susunan teks berantakan, atau format yang tidak sesuai standar penerbit juga dapat diidentifikasi dengan lebih akurat melalui analisis NLP.
        Selain isi teks, aspek visual sebuah buku juga dapat dianalisis dengan teknologi Computer Vision. Sampul, tata letak halaman, logo penerbit, watermark, hingga jenis font yang digunakan dapat dibandingkan dengan standar asli. Perbedaan kecil yang sering kali sulit ditangkap oleh mata manusia justru dapat dikenali dengan baik oleh AI berkat kemampuan analisis citra yang dimilikinya. Lebih lanjut, AI juga dapat memverifikasi metadata buku, seperti ISBN, edisi, tahun terbit, dan nama penerbit, untuk memastikan kesesuaiannya dengan catatan resmi di basis data global. Ketidaksesuaian informasi ini dapat menjadi indikator kuat bahwa sebuah buku merupakan tiruan. Bahkan, sistem ini dapat diperkuat dengan integrasi blockchain yang berfungsi mencatat perjalanan distribusi buku mulai dari penerbit hingga ke tangan pembaca. Dengan adanya pengawasan AI, setiap kejanggalan dalam distribusi dapat segera terdeteksi sehingga peluang terjadinya pemalsuan semakin kecil.
        Penerapan teknologi semacam ini bukanlah sesuatu yang asing. Beberapa negara maju telah lebih dahulu mengimplementasikannya. Di Tiongkok, misalnya, pemerintah bekerja sama dengan penerbit besar dalam mengembangkan sistem digital untuk memverifikasi ISBN secara daring sehingga mempermudah pelacakan buku palsu sejak awal distribusi. Di Amerika Serikat, perusahaan raksasa seperti Amazon sudah memanfaatkan AI untuk memantau dan menindak toko yang kedapatan menjual buku bajakan di platform mereka. Sementara itu, Indonesia masih menghadapi masalah serius terkait pembajakan buku. Fenomena penjualan buku bajakan, baik dalam bentuk cetakan fisik maupun versi digital seperti PDF, sering kali menjadi viral di media sosial. Penulis-penulis terkenal kerap menyuarakan keresahan mereka terhadap pembajakan, namun langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini masih terbatas. Dengan mencontoh praktik negara lain, Indonesia sebenarnya dapat mengembangkan sistem serupa agar pembajakan dapat ditekan sekaligus memberikan perlindungan lebih baik terhadap karya penulis.
        Apabila sistem pendeteksi buku palsu berbasis AI benar-benar diterapkan, dampak jangka panjang yang ditimbulkan akan sangat signifikan. Bagi penulis, penerapan teknologi ini memberikan ketenangan karena karya mereka terlindungi dari eksploitasi ilegal. Penerbit pun akan memperoleh keuntungan dengan meningkatnya kepercayaan publik terhadap buku asli, yang pada gilirannya mampu mendorong penjualan resmi. Pembaca juga akan mendapatkan jaminan kualitas bacaan yang legal, aman, serta sesuai standar penerbitan. Dari sisi pemerintah, keberadaan sistem ini mendukung penegakan hukum hak cipta serta meningkatkan penerimaan pajak dari sektor penerbitan. Sebaliknya, jika pembajakan dibiarkan tanpa penanganan serius, generasi muda akan terbiasa membaca buku bajakan, para penulis semakin enggan berkarya, dan pada akhirnya dunia literasi nasional berpotensi kehilangan daya hidupnya.
        Meskipun demikian, penerapan AI dalam pendeteksian buku palsu bukan tanpa hambatan. Tantangan pertama terletak pada ketersediaan basis data yang lengkap. Sistem AI hanya dapat bekerja optimal apabila memiliki akses pada data buku asli yang terdigitalisasi dengan baik. Sayangnya, tidak semua penerbit di Indonesia memiliki katalog digital yang memadai. Tantangan kedua adalah biaya implementasi. Pengembangan sistem AI membutuhkan dana besar, baik untuk infrastruktur teknologi, perangkat lunak, maupun sumber daya manusia yang ahli di bidang ini. Tanpa dukungan pemerintah, lembaga pendidikan, atau kerja sama lintas industri, penerbit kecil akan kesulitan untuk mengadopsinya. Selain itu, perkembangan teknologi pemalsuan juga semakin canggih. Sama seperti antivirus yang harus selalu diperbarui, sistem AI pun perlu terus ditingkatkan agar tidak ketinggalan dari modus-modus baru pemalsuan.
        Dari uraian tersebut terlihat bahwa AI memiliki potensi yang sangat besar dalam membantu memerangi peredaran buku palsu. Namun, keberhasilan penerapannya sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kolaborasi berbagai pihak, serta dukungan kebijakan pemerintah. Dengan keseriusan dalam mengatasi tantangan-tantangan yang ada, Indonesia dapat memanfaatkan teknologi AI untuk melindungi dunia literasi dan memperkuat ekosistem penerbitan nasional.