Perlindungan sosial merupakan salah satu pilar penting dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Di Indonesia, konsep ini mencakup berbagai bentuk bantuan dan jaminan yang
diberikan oleh negara untuk melindungi warganya dari risiko sosial, ekonomi, dan kesehatan.
Program seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Program Keluarga Harapan (PKH),
dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah contoh konkret dari upaya pemerintah dalam
memastikan bahwa setiap warga negara memiliki jaring pengaman sosial. Namun, meskipun
sudah banyak kemajuan, sistem perlindungan sosial di Indonesia masih menghadapi tantangan
besar dalam hal efektivitas, pemerataan, dan keberlanjutan.
Secara ideal, perlindungan sosial bukan hanya soal bantuan tunai atau subsidi, tetapi
tentang bagaimana negara memastikan bahwa setiap individu memiliki akses terhadap kehidupan
yang layak. Dalam konteks ini, program seperti BPJS Kesehatan telah menjadi tonggak penting
karena membuka akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Namun di lapangan, masih
sering ditemui persoalan seperti keterlambatan klaim rumah sakit, pelayanan yang tidak merata,
serta data penerima bantuan yang belum akurat. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan sosial
di Indonesia belum sepenuhnya berjalan efektif dan berkeadilan.
Dari sisi ekonomi, pandemi COVID-19 menjadi ujian berat bagi sistem perlindungan
sosial Indonesia. Program bantuan sosial yang digulirkan secara cepat memang membantu
meringankan beban masyarakat, tetapi juga menyingkap kelemahan mendasar: ketergantungan
pada bantuan jangka pendek tanpa solusi pemberdayaan ekonomi jangka panjang. Banyak
penerima bantuan tetap berada dalam kondisi miskin karena tidak disertai program peningkatan
keterampilan atau akses pekerjaan yang berkelanjutan. Artinya, perlindungan sosial di Indonesia
masih lebih bersifat kuratif daripada preventif.
Selain itu, tantangan besar lainnya terletak pada integrasi data dan koordinasi
antarinstansi. Meskipun pemerintah telah meluncurkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS), masih sering ditemukan ketidaksesuaian data di lapangan. Banyak masyarakat yang
layak menerima bantuan justru tidak terdata, sementara sebagian penerima bantuan berasal dari
kalangan yang sudah tidak lagi miskin. Kondisi ini menggerus kepercayaan publik terhadap
efektivitas program sosial pemerintah.
Meski demikian, langkah-langkah positif juga perlu diapresiasi. Transformasi digital
dalam penyaluran bantuan sosial, seperti penggunaan aplikasi dan rekening elektronik, telah
meningkatkan transparansi dan mengurangi potensi penyalahgunaan. Selain itu, adanya
komitmen pemerintah untuk memperluas cakupan jaminan sosial bagi pekerja informal
menunjukkan arah kebijakan yang semakin inklusif. Namun, agar perlindungan sosial benar-
benar menjadi instrumen keadilan sosial, perlu reformasi sistemik yang menekankan pada
keakuratan data, pemberdayaan ekonomi, serta pengawasan publik yang kuat.
Pada akhirnya, perlindungan sosial bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga
komitmen moral bangsa untuk saling menjaga dan memastikan tidak ada warga yang tertinggal.
Negara harus hadir bukan sekadar sebagai pemberi bantuan, tetapi sebagai fasilitator
kemandirian rakyat. Dengan sistem perlindungan sosial yang inklusif, transparan, dan
berkeadilan, Indonesia dapat melangkah menuju cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI