PENDAHULUANÂ
Profesi bimbingan dan konseling memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas serta kepercayaan konseli, terutama di lingkungan sekolah. Namun, dalam praktiknya, masih banyak pelanggaran kode etik yang terjadi, baik disebabkan oleh ketidaktahuan, kelalaian, maupun ketidakmampuan profesional. Menurut kode etik profesi konselor, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika dapat merusak kepercayaan konseli dan kredibilitas profesi secara keseluruhan (Muhammad et al., 2024). Artikel ini mengulas tiga studi kasus nyata yang mencerminkan berbagai bentuk pelanggaran kode etik konselor di sekolah, yaitu hubungan dual antara konselor dan siswa, pelanggaran kerahasiaan informasi konseli, serta kurangnya kompetensi konselor. Dengan mengangkat studi kasus ini, artikel bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak pelanggaran tersebut dan pentingnya menjaga standar etika dalam praktik bimbingan dan konseling.
1. Kasus 1 : Hubungan Dual Antara Konselor Dan SiswaÂ
Hubungan dual (multiple relationships) antara konselor dan siswa  merupakan salah satu pelanggaran kode etik yang paling sering terjadi dalam  praktik bimbingan dan konseling di sekolah. Hubungan dual ini sering kali terjadi  karena konselor tidak mampu membatasi perannya sebagai figur profesional,  sehingga terlibat dalam hubungan personal dengan siswa (Abdillah et al., 2021).  Misalnya, seorang konselor memberikan perhatian berlebih kepada seorang siswa  karena merasa iba terhadap kondisi keluarga yang dialami siswa tersebut. Perhatian  ini kemudian berkembang menjadi hubungan emosional yang melampaui batas  profesional, seperti pertemanan atau bahkan hubungan romantis. Hubungan dual  sering kali dimulai dari niat baik konselor, tetapi akhirnya menyebabkan kerugian  bagi siswa (Nasrudin et al., 2023). Selain itu, kurangnya pemahaman konselor  tentang kode etik, terutama terkait batasan profesional, menjadi salah satu  penyebab utama terjadinya hubungan dual (Nurismawan et al., 2022). Dalam  konteks ini, pelanggaran kode etik terjadi karena konselor gagal menjaga batas  profesional dalam hubungan dengan konseli, yang dapat menyebabkan eksploitasi  emosional, hilangnya objektivitas, dan kerusakan pada hubungan profesional. Â
Kasus hubungan ganda ini terjadi di SMKN 5 Sukabumi, di mana seorang  konselor memberikan perhatian berlebih kepada seorang siswa karena merasa iba  terhadap kondisi keluarga yang dialami siswa tersebut (Abdillah et al., 2021).  Perhatian ini kemudian berkembang menjadi hubungan emosional yang melampaui  batas profesional, seperti pertemanan atau bahkan hubungan romantis. Hal ini juga  menunjukkan bahwa hubungan dual sering kali dimulai dari niat baik konselor,  tetapi akhirnya menyebabkan kerugian bagi siswa (Nasrudin et al., 2023). Selain itu,  kurangnya pemahaman konselor tentang kode etik, terutama terkait batasan  profesional, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya hubungan dual (Nurismawan et al., 2022). Pelanggaran prinsip profesionalisme dalam kode etik  konseling, khususnya terkait hubungan dual (multiple relationships ). Menurut kode  etik ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), konselor wajib menjaga  batas profesional dalam hubungan dengan konseli untuk menghindari risiko  eksploitasi, hilangnya objektivitas, dan kerusakan pada hubungan profesional.Â
Implikasi bagi konseli (Siswa) yaitu siswa merasa dieksploitasi secara  emosional oleh konselor, yang dapat menyebabkan trauma psikologis. Siswa yang  mengalami hubungan dual cenderung kehilangan kepercayaan terhadap konselor  dan menjadi enggan untuk mencari bantuan di masa depan. Siswa mungkin  memandang konselor sebagai figur yang tidak profesional, sehingga layanan  bimbingan dan konseling di sekolah kehilangan maknanya. Hubungan dual dapat  menyebabkan konflik emosional pada siswa, terutama jika hubungan tersebut  berakhir atau tidak sesuai harapan.Â
Implikasi bagi konselor yaitu konselor yang terlibat dalam hubungan dual  berisiko menghadapi sanksi disiplin dari asosiasi profesi BK, termasuk pencabutan  lisensi atau larangan praktik permanen. Hubungan dual sering kali berujung pada  tuntutan hukum dari keluarga siswa, yang tentunya merusak reputasi konselor di  mata masyarakat. Konselor kehilangan kemampuan untuk bertindak secara objektif  dan profesional, yang dapat memengaruhi kualitas layanan yang diberikan kepada  siswa lain.Â
Implikasi bagi profesi yaitu citra profesi bimbingan dan konseling menjadi  buruk karena persepsi masyarakat bahwa konselor tidak mampu menjaga batas  profesional. Hubungan dual dapat merusak integritas profesi secara keseluruhan.  Sekolah tempat konselor bekerja juga dapat mengalami kerugian reputasi, yang  berdampak pada kepercayaan orang tua dan masyarakat terhadap institusi  pendidikan tersebut.Â
Dampak dari hubungan dual ini sangat serius, baik bagi siswa, konselor,  maupun profesi secara keseluruhan. Bagi siswa, hubungan dual dapat menyebabkan  trauma psikologis karena mereka merasa dieksploitasi secara emosional oleh  konselor. Siswa yang mengalami hubungan dual cenderung kehilangan kepercayaan  terhadap konselor dan menjadi enggan untuk mencari bantuan di masa depan.  Selain itu, hubungan dual juga dapat menyebabkan siswa merasa tertekan atau  bahkan dilecehkan, terutama jika hubungan tersebut melibatkan aspek romantis.  Bagi konselor, risiko sanksi disiplin sangat besar, termasuk pencabutan lisensi atau  larangan praktik permanen. Hubungan dual sering kali berujung pada tuntutan  hukum dari keluarga siswa, yang tentunya merusak reputasi konselor di mata  masyarakat. Bagi profesi bimbingan dan konseling, citra profesi menjadi buruk  karena persepsi masyarakat bahwa konselor tidak mampu menjaga batas  profesional. Â
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa solusi dapat diimplementasikan.  Pertama, peningkatan kompetensi konselor melalui pelatihan rutin tentang  pentingnya menjaga batas profesional sangat diperlukan. Pelatihan ini harus  mencakup pemahaman mendalam tentang dampak negatif hubungan dual serta  cara-cara untuk menghindarinya. Kedua, supervisi profesional harus dilakukan  secara berkala untuk memastikan bahwa konselor bekerja sesuai dengan kode etik.Â
Salah satu solusinya disebutkan oleh Syarqawi dalam Daniati et al. (2025), yaitu  dengan seorang supervisor yang berpengalaman perlu mengawasi konselor.  Supervisor dapat membantu konselor dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan  masalah etika, meningkatkan keterampilan mereka, serta memberikan bimbingan  dan dukungan untuk perkembangan pribadi dan profesional mereka. Supervisi ini  dapat membantu konselor mengidentifikasi potensi hubungan dual sejak dini dan  mengambil langkah-langkah Â
pencegahan. Ketiga, mekanisme pelaporan harus dibuat untuk memberikan  ruang bagi siswa atau pihak lain untuk melaporkan dugaan hubungan dual.  Mekanisme ini harus transparan dan melibatkan pihak ketiga untuk memastikan  objektivitas dalam proses investigasi. Terakhir, penegakan sanksi tegas harus  dilakukan terhadap konselor yang melanggar batas profesional. Sanksi ini tidak  hanya bertujuan untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk melindungi  integritas profesi.Â