Selayang Pandang Kontroversi Isu Wacana "Penulisan Ulang Sejarah"
Hampir satu tahun era Prabowo-Gibran berjalan di kancah pemerintahan Indonesia. Rencana program kerja yang berkali-kali disinggung sebagai citra dan "nilai jual" dari kabinet Prabowo-Gibran perlahan-lahan juga mulai berjalan, entah sebagai program berkelanjutan atau sekadar objek uji coba. Begitu banyak pula huru-hara yang tercipta dari persinggungan antara pemerintah dan publik sebagai oposisi. Salah satu yang cukup menuai kontroversi adalah mengenai isu "Penulisan Ulang Sejarah" yang digagas Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, pada awal tahun 2025.
Walau mundur dari rencana awal rilis pada 17 Agustus 2025, Fadli Zon memastikan bahwa Sejarah Nasional Indonesia yang telah ditulis ulang akan tetap terbit tahun ini, dengan prakiraan pada 10 November 2025 mendatang, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Meski telah direncanakan untuk mengadakan jadwal Focus Group Discussion (FGD), yaitu diskusi lanjutan bersama para sejarawan dalam tahap pengeditan naskah, kekhawatiran publik tetap muncul.
Pasalnya, sejak awal ide "Penulisan Ulang Sejarah" itu muncul, telah banyak kontroversi yang tertuai guna memperingati akan kemungkinan buruk dari terbukanya ruang vital tersebut. Beberapa pihak menyebut bahwa "Penulisan Ulang Sejarah" menjadi wadah panas dalam upaya legitimasi penguasa, seyogyanya pemanfaatan sejarah dalam dunia politik. Ada dugaan bahwa pemerintah juga berusaha mengglorifikasi peristiwa dan mengkultuskan tokoh tertentu di masa lalu. Belum lagi isu simpang siur mengenai beberapa fakta sejarah seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergolong berat di masa Orde Baru akan "dihapus" dari narasi sejarah yang kelak diedarkan sebagai sumber resmi.
Menyingkap Peluang Lain dari "Penulisan Ulang Sejarah" yang Berpihak ke Publik
Namun kita tidak akan membahas lebih lanjut mengenai pelik kontroversi yang telah banyak dibahas tersebut, melainkan mengenai peluang lain yang cukup jarang disorot publik. Fadli Zon sempat menyinggung mengenai pengusahaan perspektif Indonesia-sentris dengan menghapus bias-bias kolonial dan mengedepankan peran serta pencapaian Indonesia dalam upaya "Penulisan Ulang Sejarah" tersebut. Sebetulnya, ini merupakan angin segar bagi perkembangan penulisan Sejarah Indonesia, atau dengan kata lain Historiografi Indonesia. Sebab, apabila kita meninjau kembali soal arsip-arsip yang didominasi oleh pengaruh kolonial, sebagaimana digunakan sebagai sumber dasar penulisan Sejarah Indonesia, kita akan menemukan tentang betapa "halusnya" bahasa-bahasa yang digunakan dalam arsip tersebut. Sedikit banyak, secara tidak sadar pengaruh bias kolonial tersebut teradopsi dalam pemahaman kita mengenai peristiwa masa lalu. Menjadikan kita mereduksi dan mengintepretasikan masa lalu dari sudut pandang kolonial.
Hal inilah yang menjadi objek kajian utama dalam Teori Dekonstruksi, sebuah pemikiran filsafat yang dicetuskan Jacques Derrida, pada tahun 1960-an yang bertepatan dengan awal dimulainya era postmodernisme. Sederhananya, Dekonstruksi berarti melakukan destruksi untuk mengkonstruksi ulang suatu makna untuk mendapat kebenaran alternatif dari dominasi kebenaran yang sudah lama dipercaya.
Mungkin dalam "bahasa yang lebih sulit" atau terdengar lebih akademis, Dekonstruksi memiliki pandangan bahwa dalam teks (narasi) apapun, pasti terdapat titik kritis 'keraguan' yang menjadi celah pembongkaran makna (interpretasi) meskipun telah ditetapkan untuk menjadi makna yang stabil oleh penulisnya. Derrida mengamati bahwa terdapat kenyataan tentang bagaimana narasi-narasi dibangun ulang, bahkan sedari awal diciptakan dengan bias yang terpusat, mengaburkan kebenaran lain dari keberadaan tertentu, yang disebut sebagai "kebenaran utuh". Bahwa narasi-narasi dominan yang selama ini kita dengar, bisa jadi adalah sebuah konstruksi manusia belaka yang dibangun berdasarkan tujuan tertentu.
Lebih lanjut, beberapa istilah pengantar yang mungkin bermanfaat untuk dipahami lebih lanjut dalam menggunakan kacamata dekonstruksi, antara lain penentangan terhadap Logosentrisme, yaitu adanya ketetapan makna terhadap suatu kata. Differance yang berarti "ketidakhadiran dari suatu kehadiran" sebagai istilah untuk upaya membuktikan bahwa makna itu tidak tetap dan akan selalu tertunda. Dengan kata lain, makna yang tampak "utuh" sebenarnya dibentuk oleh makna-makna lain yang disingkirkan, ditunda, atau tidak disebutkan secara eksplisit. Trace yang berarti jejak dari apa yang tidak hadir, tetapi justru memungkinkan sesuatu menjadi hadir dalam Difference. Serta oposisi biner yang berarti adanya situasi ketika ada dua makna yang berpasangan untuk saling bertentangan tetapi salah satu maknanya dinilai lebih dominan daripada makna lainnya sehingga bersifat hierarkis.
Contoh sederhananya, kadang-kadang kita menganggap bahwa kata "alam" lebih besar daripada kata "budaya", padahal mereka adalah oposisi biner yang seharusnya setara. Kata "putih" lebih baik daripada "hitam", bahkan kata "baik" lebih terkesan berkuasa di atas kata "salah". Contoh lainnya dalam kasus nyata, sebagian besar masyarakat kita merasa bahwa kata "perjaka" terdengar lebih gagah dibandingkan kata "perawan" yang terkesan lemah bahkan saru.
Derrida menolak gagasan bahwa makna dapat ditemukan secara objektif, tetap, dan netral sebagaimana diasumsikan dalam pendekatan positivistik yang mengagungkan stabilitas, rasionalitas, dan kejelasan struktur bahasa. Sebaliknya, Derrida menunjukkan bahwa bahasa justru bersifat labil, kontradiktif, dan penuh penundaan makna. Prinsip-prinsip Dekonstruksi yang dibawakan oleh istilah inilah yang akan menjadi panduan dalam pendobrakan batas nalar kritis kita dalam membongkar kebenaran yang tersembunyi dibalik makna yang telah ada sebelumnya.
Dekonstruksi Adalah Solusi Untuk Mengawal Isu "Penulisan Ulang Sejarah"
Kembali pada konteks Sejarah, beberapa dari kita juga masih cukup sering mengasosiasikan kata "merah" untuk menyebut partai-partai radikal, sebut saja PKI, SI Merah, atau yang masih hangat, PDIP. Kecenderungan inilah yang menumpulkan kekritisan kita dalam menafsirkan Sejarah, sehingga melewatkan (penundaan makna) kebenaran-kebenaran alternatif yang belum sempat tersingkap dalam upaya interpretasi sejarah, karena telah terburu-buru dalam menetapkan suatu "kebenaran" yang harus segera dikonsumsi publik.
Dekonstruksi dapat menjawab kekurangan tersebut. Dekonstruksi melahirkan sikap yang kritis dimana kita harus selalu mempertanyakan "kebenaran", dalam hal ini fakta tertulis, meski telah diberikan embel-embel fakta sejarah dengan serangkaian bukti, guna menyingkap dan tidak melewatkan kebenaran alternatif lain dari suatu peristiwa. Kadang-kadang, kebenaran alternatif tersebut muncul dari suara-suara pihak, kelompok, atau masyarakat yang termarginalisasi dari dominasi dan hegemoni penguasa. Sebagai contoh, perdebatan mengenai gerakan PKI 1926 yang disebut pemberontakan, alih-alih perlawanan sebagaimana pergerakan organisasi nasional semasanya. Tidak salah bahwa sebutan "Sejarah ditulis oleh pemenang" masih relevan hingga sekarang.Â
Wacana "Penulisan Ulang Sejarah" sejatinya bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk menyingkap kebenaran lain dan meluruskan narasi dominan yang sebenarnya keliru. Hanya saja, bila kita kembali berkaca pada realitas di lapangan, cukup wajar kalau kekhawatiran dalam penyelewengan kesempatan emas ini jauh lebih besar daripada jadi angin segar. Sejarah mungkin tidak disifati untuk dapat terulang, namun pola Sejarah sejatinya berulang seperti sebuah siklus yang melingkar. Melihat sepak terjang pemerintahan Indonesia hingga saat ini...ah, semoga suatu saat ada hari baik ketika semua cita publik tercapai!
Viva Historia!
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI