Penulis: Yudithia Debora
Baru-baru ini, publik kembali diingatkan dengan problematika penggunaan ganja sebagai pengobatan medis setelah seorang Ibu menggelar aksi di Bundaran HI yang ditujukan kepada Hakim Konstitusi.[1] Dalam aksinya, sang Ibu, yang ternyata merupakan Ibu dari Pika, anak dengan cerebral palsy (cerebral palsy),Â
menyampaikan kekhawatirannya mengenai keberlangsungan hidup anaknya apabila tidak kunjung diberikan pengobatan ganja medis. Ia khawatir apabila tidak kunjung disahkan, anaknya akan bernasib sama seperti anak temannya yang meninggal dunia ketika proses persidangan mengenai legalisasi ganja sebagai terapi pengobatan masih berlangsung.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, memberikan pernyataan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk segera membuat fatwa mengenai penggunaan ganja sebagai pengobatan medis untuk dijadikan pedoman bagi segala pihak terkait, termasuk DPR, dalam proses pembahasan legalisasi ganja medis di Indonesia.
[2] Meskipun menurut Ma'ruf Amin penggunaan ganja dilarang secara agama karena berbagai kerugian yang disebabkannya, penggunaan ganja untuk fungsi medis dan pengobatan perlu dikaji lebih lanjut.
Ganja Medis di Indonesia
Perjalanan panjang persidangan mengenai legalisasi ganja medis di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2020.[3] Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan narkotika sebagai pengobatan medis tertulis dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.[4] Dalam pasal 7 dan 8 ayat (1), ditulis bahwa narkotika diperbolehkan untuk digunakan demi kepentingan pelayanan kesehatan,Â
kecuali untuk narkotika golongan I yang hanya diperbolehkan dalam jumlah terbatas untuk keperluan penelitian dengan syarat mendapatkan persetujuan dari Menteri atas rekomendasi BPOM dan tidak diperbolehkan untuk digunakan dalam tindakan medis apapun. Menurut UU tersebut juga, tanaman ganja dan seluruh bagiannya, serta isomer dari bahan kimianya (THC), termasuk ke dalam narkotika golongan I.Â
THC (tetrahydrocannabinol) sendiri merupakan kandungan kimia yang terdapat pada tanaman ganja yang bekerja sangat cepat ketika diinhalasi.[5,6] Pada dosis tinggi atau pemakaian jangka panjang, THC memiliki risiko tinggi untuk menyebabkan berbagai efek psikosis,Â
meningkatnya risiko terjadinya skizofrenia atau gejala seperti skizofrenia, halusinasi, perasaan selalu kelelahan, diare, penurunan nafsu makan, sakit kepala, keinginan untuk bunuh diri, hingga ketergantungan terhadap ganja itu sendiri.