Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Defisit BPJS: Jokowi Lepas Tangan?

29 Oktober 2018   14:19 Diperbarui: 30 Oktober 2018   01:10 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Defisit BPJS Kesehatan memang bukan masalah baru dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang menargetkan Universal Health Coverage pada tahun 2019 ini. Sejak 2014, defisit BPJS Kesehatan sudah  sebesar Rp3,3 triliun. Jumlah tersebut diikuti pada tahun-tahun berikutnya sejumlah Rp5,7 triliun pada 2015, Rp9,7 triliun pada 2016, dan mencapai Rp12 triliun pada tahun ini. Hal ini dicoba diatasi melalui penyuntikkan dana dari pajak rokok daerah. Skema Menteri Keuangan juga menyebutkan akan mengambil alih sebesar 75% dari bagi hasil bea cukai tembakau setiap tahunnya. Namun, defisit masih belum dapat tertutupi.

Masalah ini membuat Presiden Jokowi angkat bicara dan menegur Dirut BPJS, Fachmi Idris, di depan para pimpinan rumah sakit di Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), (Rabu,18/10). Sang Kepala Negara mengutarakan keluhannya kepada pengelola BPJS Kesehatan terkait masalah defisit yang tidak kunjung selesai. "Mestinya sudah rampung di tingkat MenKes, di Dirut BPJS. Urusan pembayaran hutang sampai ke Presiden. Ini kebangetan sebetulnya," tukasnya.

Jokowi juga menegur Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, yang dianggap seharusnya turun langsung dalam menyelesaikan defisit ini. Jokowi meminta hal ini tidak terulangi pada tahun mendatang.

Keluhan Presiden mengenai defisit ini ditanggapi oleh berbagai pihak. Dirut BPJS, Fachmi Idris, mengatakan bahwa BPJS memang secara langsung bertanggungjawab kepada Presiden sehingga teguran yang diberikan memang wajar untuk diberikan.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, Sumarjati Arjoso, mengkritik keluhan Jokowi dengan menganggap bahwa sang Presiden telah lepas tangan terkait defisit BPJS Kesehatan tersebut. "Kami memandang keluhan Presiden kenapa dirinya harus turun tangan sendiri untuk mengurusi defisit anggaran BPJS, sembari menyalahkan Menteri Kesehatan dan Dirut BPJS Kesehatan, merupakan respon yang misleading."

 "(Respon tersebut) sekaligus menunjukkan jika Presiden tidak menguasai rantai tanggung jawab Sistem Jaminan Kesehatan Nasional", ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (19/10). Hal ini membuat Sumarjati mempertanyakan kesanggupan Jokowi dalam membenahi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). "Bagaimana bisa masalah Sistem Jaminan Kesehatan Sosial kita benahi, jika Presiden sendiri tidak memahami Undang-Undang dan Tata Lembaga SJSN."

Relasi antara BPJS Kesehatan dengan Presiden memang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan, "BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden". Berdasarkan aturan ini, wajar apabila Sumarjati menilai bahwa tidak sepatutnya Jokowi terkesan lepas tangan terkait masalah defisit ini.

Menurutnya, seharusnya Presiden dapat berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dan Direktur Utama BPJS Kesehatan dalam rangka mencari solusi terbaik untuk menjamin kesehatan rakyat.

Menurut Jokowi, defisit yang terjadi disebabkan oleh adanya tagihan-tagihan yang belum terbayarkan, khusus pada peserta non-PBI (Penerima Bantuan Iuran). Dalam Muktamar XX Ikatan Dokter Indonesia di Samarinda (Kamis, 25/10), Jokowi menuturkan bahwa penagihan iuran pada peserta non-PBI ini harus lebih digencarkan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, menurutkan bahwa BPJS Kesehatan telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan pemasukan dari iuran para non-PBI. BPJS telah menyediakan berbagai macam fasilitas pembayaran, mulai dari bank, ATM, kartu kredit, bahkan berbagai finetech, seperti Traveloka, Gopay, Tokopedia, dan lainnya. Selain itu, BPJS juga telah menjalankan sistem autodebet untuk peserta kelas 1 dan 2 yang terhitung wajib pada tahun ini.

Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menuturkan bahwa alasan terjadinya defisit BPJS tidak hanya karena iuran peserta  non-PBI yang tidak kunjung dibayar, melainkan juga karena kenaikan iuran peserta belum juga dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, iuran peserta BPJS Kesehatan sebesar Rp23.000 per bulan. BPJS Wacth menuturkan bahwa apabila iuran dinaikkan menjadi Rp27.000, kas BPJS Kesehatan dapat bertambah mencapai Rp4,5 triliun. Apabila dinaikkan menjadi Rp30.000, akan didapat penambahan sebesar Rp9 triliun.

Timboel juga mengatakan bahwa kepesertaan BPJS Kesehatan relaitf rendah dibandingkan BPJS Ketenagakerjaan. Ia berpendapat bahwa rendahnya kepesertaan disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar lembaga dalam menyukseskan keikutsertaan masyrakat dalam BPJS Kesehatan. Selain itu, ia juga menyebutkan perlunya pembenahan sistem manajemen dalam kepesertaan BPJS demi kelancaran pendaftaran dan pembayaran.

-Lyanna Azzahra-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun