Sesekali, ia juga bersandar dengan tembok, sambil mengingat beberapa luka dan penghakiman. Ia sebenarnya ingin selalu berdoa, namun menjadi perempuan—kadang membuatnya berhalangan untuk interaksi dengan Tuhan dalam gerakan.
Tapi, ia selalu merapal--semisal sedang merindu atau mengingat beberapa impiannya yang tabu. Berharap Tuhan masih mendengar, lalu menyampaikannya lewat udara. Ia masih menyimpan dengan rapi brosur pendaftaran magister sebuah kampus pendidikan—hingga kini. Kepalanya masih batu, menginginkan menjadi seorang dosen ataupun kepala sekolah.
Setelah berlalu, kini situasi semakin baik. Beberapa hal yang kacau, perlahan kembali stabil. Mengimani kehidupan ternyata tidak perlu menjadi jagoan. Lumrah, jika kondisi tak mengenakan datang bergantian. Ia lebih sering memilih diam dan melukis. Mengatur pola wajahnya tak nampak pelik, mengakali senyum simetris di depan layar.
Setelah dipikir-pikir, hidupnya penuh dengan untung. Hal itu terkonfirmasi benar, jika kesialannya dibandingkan lurus dengan Chris Gardner dalam The Pursuit of Happ(y)ness.
Re
Citayam, 13 Desember 2021