Ada juga momen lain---tim basket Kanisius sempat tertinggal jauh di babak pertama. Banyak yang pesimis. Tapi mereka tidak menyerah. Mereka main dengan tenang, terus berjuang, dan sedikit demi sedikit menyamakan skor. Akhirnya mereka memang tetap kalah tipis, tapi sorak suporter setelah pertandingan justru lebih keras daripada sebelumnya. Karena yang dihargai bukan hasil, tapi usaha.
Di sinilah saya belajar satu hal penting: bahwa setiap peran, sekecil apa pun, berarti. Bahwa keberhasilan besar lahir dari tangan-tangan yang mungkin tidak terlihat. Dan bahwa semangat pantang menyerah itu menular---dari pemain di lapangan, ke panitia di balik layar, ke siapa pun yang menyaksikan.
Magis dan perjuangan bukan dua hal yang terpisah. Magis adalah arah, perjuangan adalah jalannya. Di antara keringat, kesalahan, dan rasa lelah, di situlah kita benar-benar tumbuh. CC Cup mengajarkan kami untuk berani gagal, tapi tidak menyerah; untuk berani kalah, tapi tetap belajar. Karena pada akhirnya, piala mungkin hanya dimiliki satu tim, tapi pengalaman dan nilai perjuangan itu dibawa oleh semua orang yang terlibat.
Kita hidup di masa ketika banyak anak muda ingin hasil instan. Semua serba cepat: nilai bagus tanpa proses panjang, popularitas dalam hitungan menit, dan validasi dari jumlah likes di media sosial. Di tengah budaya instan itu, Canisius College Cup hadir seperti pengingat bahwa hal-hal yang benar-benar berharga justru lahir dari proses yang panjang dan tidak selalu nyaman.
Selama CC Cup, saya melihat bagaimana proses itu membentuk karakter. Ada tim yang kalah di babak penyisihan tapi tetap datang ke sekolah keesokan harinya, duduk di tribun untuk menyemangati teman-temannya. Ada panitia yang hampir menyerah karena pekerjaan menumpuk, tapi memilih bertahan karena tahu banyak orang bergantung padanya. Ada juga peserta lomba band yang tampil dengan alat seadanya, tapi tetap percaya diri, menikmati setiap detik di panggung.
Semua momen itu sederhana, tapi punya makna besar. Mereka menunjukkan bahwa karakter tidak dibentuk dari kemenangan, melainkan dari cara seseorang bangkit setelah jatuh. Karakter kuat lahir dari kegagalan yang dihadapi dengan kepala tegak.
"Kalian tidak sedang bikin acara, kalian sedang membangun diri."
Saya ingat kata seorang guru di tengah rapat panitia: "Kalian tidak sedang bikin acara, kalian sedang membangun diri." Waktu itu saya cuma mengangguk, tapi setelah semuanya selesai, saya baru paham maksudnya. CC Cup bukan hanya tentang jadwal lomba dan dekorasi. Ia tentang bagaimana kami menghadapi tekanan, konflik, dan tanggung jawab. Tentang bagaimana kami belajar menahan ego, bekerja sama, dan menghormati perbedaan.
Dan di situlah nilai magis benar-benar terasa. Magis bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang tidak berhenti mencoba menjadi lebih baik. Di tengah kesibukan, rasa lelah, dan bahkan kekacauan kecil yang selalu ada di setiap acara besar, kami belajar untuk tetap melangkah dengan niat yang tulus. Kami belajar bahwa kegigihan jauh lebih bernilai daripada hasil akhir.
Ketika CC Cup XL 2025 berakhir, suasana haru memenuhi lapangan. Lampu-lampu dimatikan satu per satu, spanduk diturunkan, dan suara musik perlahan berhenti. Tapi yang tertinggal bukan hanya sisa sampah atau dekorasi, melainkan kenangan tentang perjuangan, tawa, dan semangat kebersamaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!