Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang kemudian diperbaiki melalui Perpu No. 2 Tahun 2022 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, merupakan upaya besar pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan dunia usaha di Indonesia. Undang-undang ini hadir sebagai omnibus law, yang mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan ketentuan baru pada puluhan undang-undang sektor usaha dan ketenagakerjaan.
Tujuan utama dari pembentukan UU Cipta Kerja secara eksplisit tercantum dalam Pasal 3, yakni untuk "menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada koperasi dan UMKM serta peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha." Namun, dalam praktiknya, muncul perdebatan mengenai sejauh mana UU ini benar-benar efektif dalam menjamin kemudahan berusaha tanpa mengorbankan perlindungan terhadap investor dan pelaku usaha, terutama yang berasal dari luar negeri.
UU Cipta Kerja membawa perubahan penting dalam sistem perizinan usaha di Indonesia melalui penguatan sistem Online Single Submission (OSS) berbasis risiko. OSS mempermudah pelaku usaha untuk memperoleh izin tanpa harus melalui proses birokrasi yang panjang dan berlapis, yang sebelumnya menjadi hambatan utama dalam membuka usaha di Indonesia.
Salah satu ketentuan penting dalam UU ini adalah perubahan pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya mengenai pendirian badan usaha. Misalnya, Pasal 153C hasil perubahan mengatur bahwa perseroan perorangan kini dimungkinkan bagi UMKM, sehingga tidak lagi membutuhkan minimal dua orang pendiri. Hal ini jelas mempermudah masyarakat dalam membentuk badan hukum untuk usahanya.
Namun, menurut Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, kemudahan prosedural saja tidak cukup. Ia menekankan bahwa "kemudahan berusaha harus disertai dengan kepastian hukum dan konsistensi regulasi, agar investor tidak hanya datang tetapi juga bertahan dan berkembang."
Investor, terutama dari luar negeri, membutuhkan dua hal: kepastian hukum dan perlindungan hukum. UU Cipta Kerja memang menyederhanakan banyak regulasi, namun perubahan yang cepat dan banyaknya peraturan pelaksana yang belum sinkron justru memunculkan keraguan. Hal ini pernah ditegaskan oleh OECD Investment Policy Review Indonesia 2020, yang menyebutkan bahwa perubahan regulasi yang terlalu cepat dan tidak konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor.
Perlindungan hukum terhadap investor juga menyangkut penegakan hukum terhadap sengketa bisnis, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan transparansi dalam pengadaan lahan. Dalam praktiknya, banyak investor yang menghadapi hambatan non-teknis seperti sengketa pertanahan dan tarik-menarik kewenangan antar instansi.
Dalam konteks perlindungan pekerja sebagai salah satu unsur keberlanjutan usaha, UU Cipta Kerja justru menimbulkan kritik karena dianggap mengurangi hak-hak pekerja. Misalnya,
penghapusan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang membatasi kontrak kerja waktu tertentu (PKWT), serta fleksibilitas dalam pengupahan dan pemutusan hubungan kerja. Hal ini dapat menciptakan instabilitas sosial yang berujung pada risiko usaha jangka panjang.
UU Cipta Kerja adalah langkah reformasi hukum yang ambisius dan pada beberapa aspek telah menunjukkan perbaikan, khususnya dalam hal prosedural pendirian dan perizinan usaha. Namun, efektivitasnya masih terganjal oleh pelaksanaan di lapangan dan tumpang tindih peraturan teknis di tingkat daerah maupun pusat.Diperlukan evaluasi berkala terhadap implementasi peraturan pelaksana serta keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil, agar tujuan kemudahan berusaha yang inklusif dan perlindungan investor yang komprehensif benar-benar dapat tercapai.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang kemudian diperbaiki melalui Perpu No. 2 Tahun 2022 dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, merupakan upaya besar pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan dunia usaha di Indonesia. Undang-undang ini hadir sebagai omnibus law, yang mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan ketentuan baru pada puluhan undang-undang sektor usaha dan ketenagakerjaan.
Tujuan utama dari pembentukan UU Cipta Kerja secara eksplisit tercantum dalam Pasal 3, yakni untuk "menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada koperasi dan UMKM serta peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha." Namun, dalam praktiknya, muncul perdebatan mengenai sejauh mana UU ini benar-benar efektif dalam menjamin kemudahan berusaha tanpa mengorbankan perlindungan terhadap investor dan pelaku usaha, terutama yang berasal dari luar negeri.
UU Cipta Kerja membawa perubahan penting dalam sistem perizinan usaha di Indonesia melalui penguatan sistem Online Single Submission (OSS) berbasis risiko. OSS mempermudah pelaku usaha untuk memperoleh izin tanpa harus melalui proses birokrasi yang panjang dan berlapis, yang sebelumnya menjadi hambatan utama dalam membuka usaha di Indonesia.
Salah satu ketentuan penting dalam UU ini adalah perubahan pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya mengenai pendirian badan usaha. Misalnya, Pasal 153C hasil perubahan mengatur bahwa perseroan perorangan kini dimungkinkan bagi UMKM, sehingga tidak lagi membutuhkan minimal dua orang pendiri. Hal ini jelas mempermudah masyarakat dalam membentuk badan hukum untuk usahanya.
Namun, menurut Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, kemudahan prosedural saja tidak cukup. Ia menekankan bahwa "kemudahan berusaha harus disertai dengan kepastian hukum dan konsistensi regulasi, agar investor tidak hanya datang tetapi juga bertahan dan berkembang."
Investor, terutama dari luar negeri, membutuhkan dua hal: kepastian hukum dan perlindungan hukum. UU Cipta Kerja memang menyederhanakan banyak regulasi, namun perubahan yang cepat dan banyaknya peraturan pelaksana yang belum sinkron justru memunculkan keraguan. Hal ini pernah ditegaskan oleh OECD Investment Policy Review Indonesia 2020, yang menyebutkan bahwa perubahan regulasi yang terlalu cepat dan tidak konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian bagi investor.
Perlindungan hukum terhadap investor juga menyangkut penegakan hukum terhadap sengketa bisnis, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan transparansi dalam pengadaan lahan. Dalam praktiknya, banyak investor yang menghadapi hambatan non-teknis seperti sengketa pertanahan dan tarik-menarik kewenangan antar instansi.
Dalam konteks perlindungan pekerja sebagai salah satu unsur keberlanjutan usaha, UU Cipta Kerja justru menimbulkan kritik karena dianggap mengurangi hak-hak pekerja. Misalnya,
penghapusan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang membatasi kontrak kerja waktu tertentu (PKWT), serta fleksibilitas dalam pengupahan dan pemutusan hubungan kerja. Hal ini dapat menciptakan instabilitas sosial yang berujung pada risiko usaha jangka panjang.
UU Cipta Kerja adalah langkah reformasi hukum yang ambisius dan pada beberapa aspek telah menunjukkan perbaikan, khususnya dalam hal prosedural pendirian dan perizinan usaha. Namun, efektivitasnya masih terganjal oleh pelaksanaan di lapangan dan tumpang tindih peraturan teknis di tingkat daerah maupun pusat.Diperlukan evaluasi berkala terhadap implementasi peraturan pelaksana serta keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil, agar tujuan kemudahan berusaha yang inklusif dan perlindungan investor yang komprehensif benar-benar dapat tercapai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI