Suatu sore, aku menemukan Kakek duduk di beranda, menatap gancu lamanya yang sudah berdebu. Matanya menerawang jauh, seolah ada cerita yang ingin ia tarik dari masa lalu. Aku menghampirinya, dan ia tersenyum. "Kau tahu, Nak," katanya sambil mengelus galah itu, "dulu, gancu ini bukan hanya untuk memetik buah. Ia adalah gancu yang aku gunakan untuk meraih masa depanku." Aku mengerutkan kening. Kakek menjelaskan bahwa saat ia muda, ia menggunakan gancu itu untuk menarik kayu-kayu bakar dari sungai, sebuah pekerjaan yang berat namun memberinya uang untuk sekolah. Gancu itu, baginya, adalah alat yang digunakan untuk “menarik” mimpi dan harapan agar lebih dekat dengan kenyataan.
Sekarang, setelah Kakek tiada, gancu itu menjadi milikku. Ia tergantung di dinding, sebuah pajangan yang menyimpan lebih dari sekadar debu. Setiap kali aku merasa impianku terlalu tinggi untuk digapai, atau tujuanku terasa terlalu jauh, aku akan memandangi gancu itu. Ia mengingatkanku bahwa hidup ini seringkali seperti memetik buah di dahan tertinggi. Kita tidak bisa meraihnya hanya dengan tangan kosong; kita harus memiliki alat yang tepat.
Alat itu bukan lagi galah kayu atau pengait besi, melainkan tekad, kegigihan, dan keberanian untuk terus mencoba. Gancu itu kini menjadi simbol dalam diriku, sebuah pengingat bahwa tidak ada yang terlalu jauh selama kita punya kemauan untuk mengait dan menariknya ke dalam genggaman. Sebuah warisan yang begitu berharga, lebih dari sekadar benda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI