Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengorek Istimewanya Yogyakarta

16 Desember 2010   18:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:40 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Perjanjian Giyanti yang mengakhiri kekisruhan suksesi penerus Sultan Agung, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah Yogyakarta. Untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini dinilai cukup baik karena diapit dua sungai, sehingga terlindung dari kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Pada awalnya, keraton Jogja memiliki angkatan bersenjata yang cukup kuat. Keraton Jogja memiliki armada yang terdiri atas infanteri dan kavaleri, dan sudah mempergunakan senjata api seperti bedil selain menggunakan yang tradisional seperti tombak, keris, panah, atau pedang.  Namun, angkatan bersenjata kesultanan Jogya  harus dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Inggris pada masa pemerintahan Sultan Hamnegku Buwono III. Kesultanan Jogjayakarta  tak lagi diperkenankan memiliki angkatan bersenjata yang kuat menyusul ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 2 Oktober 1813 oleh Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III. Dengan adanya perjanjian tersebut, keraton hanya boleh memiliki angkatan bersenjata yang lemah dengan jumlah personil yang terbatas pula. Sejak saat itu fungsi angkatan bersenjata keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga keraton atau semacam satpam keraton. Demikian pula selanjutnya dimana pemerintahan kolonial hindia Belanda, angkatan bersenjata keraton tak ubahnya sebagai pasukan seremonial dalam acara ritual seperti yang dapat saksikan saat ini.

Dari sisi sejarah diatas, tentunya keraton masih menjadi istimewa karena mampu mempertahankan tata kekeratonannya, namun dari segi sejarah perjuangan, Kesultanan Jogyakarta tak ubahnya sama seperti nasib kesultanan lain di wilayah nusantara yang tunduk pada pemerintahan kolonial.  Kesultanan Jogyakarta tetap utuh dan mampu mempertahankan budaya keraton, itu harus diakui. Namun utuhnya Keraton Jogyakarta karena tidak melakukan konfrontasi dengan pemerintahan kolonial.  Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, Keraton Jogyakarta dipakai sebagai tempat berlindung para pejuang kemerdekaan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa agresor Belanda tidak menduduki Keraton walaupun pada waktu itu pasukan Belanda mampu menduduki Jogyakarta ?.

Adalah masyarakat Jawa yang masih sangat menghormati kedudukan para ningrat dan para ningrat Jawa yang dihormati  sesungguhnya dipakai oleh pemerintahan kolonial untuk mengendalikan  rakyat jawa. Kedudukan pemerintahan kolonial banyak diserahkan kepada kaum ningrat jawa ini, falitas diberikan sebagaimana fasilitas kaum kulit putih. Dengan cara seperti ini, pemerintahan kolonial mampu mengendalikan para ningrat maka  dengan sendirinya mampu mengendalikan rakyat jawa. Taktik militer yang sangat efisien, pegang pentolannya, pengikutnya akan tunduk pula.  Tak berbeda dalam sebuah pertempuran, begitu sang komandan tertangkap, seluruh pasukan akan takluk. Kedudukan para ningrat yang demikian itu dimanfaatkan pula oleh para pejuang kemerdekaan kita, Belanda harus berfikir seribu kali untuk melakukan penyerbuan ke keraton sebab tindakan itu akan memancing seluruh rakyat melakukan perlawanan.

Dalam perkembangannya, para ningrat yang didudukkan pada kedudukan pemerintahan kolonial dengan memberikan fasilitas pendidikan seperti halnya  kaum kulit putih, lambat laun menghasilkan generasi yang berpendidikan liberal. Dari golongan inilah lahir para pejuang kemerdekaan Indonesia yang berpandangan nasionalis sebagaimana banyak dianut oleh bangsa eropa. Tokoh pejuang yang lahir dari kaum ningrat ini tentunya banyak dipengaruhi pandangan nasionalis yang mendorong terbentuknya negara kesatuan Indonesia. Jogyakarta menyatakan bergabung dengan Republik adalah sikap moral mendukung kemerdekaan sebagaimana dilakukan oleh daerah lain.  Namun dalam pengakuan kedaulatan, secara internasional wilayah republik Indonesia ditentukan berdasarkan wilayah teroterial pendudukan Belanda. Sebagaimana halnya pembebasan Irian barat, pada akhirnya dunia internasional mengakui landasan penggabungan wilayah itu dalam wilayah NKRI.  Artinya, andaikata Kesultanan Jogyakarta  menolak bergabung dalam kesatuan wilayah NKRI pada awal pembentukan Republik Indonesia, dapat dipastikan pemerintahan RI akan melakukan pendudukan secara militer dengan landasan yang disepakati secara internasional sebagaimana yang dilakukan terhadap Irian Barat.

Mengorek Sejarah Kesultanan Jogyakarta seperti diatas, bahwa polemik RUU DIY sesungguhnya telah ditunggangi kepentingan politik praktis, argumentasi istimewa dan Sultan HB X harus istimewa sebagai Gubernur seumur hidup telah menjadi perdebatan yang merembet kewilayah partai politik. Kepentingan paopolpun mulai terlihat jelas ketika draft RUU DIY diserahkan ke DPR. DPR segera mengambil alih RUU DIY menjadi domainnya, Mendagri Gunawan Fauzi yang mewakili pemerintah ibarat pesakitan yang dicap sebagai orang yang tak faham dengan perasaan rakyat Jogyakarta.  Tak salah stemple itu  ada pada Mendagri sebagai orang yang tak faham perasaan sebab pemerintahan kolonialpun tak berani mengusik tahta Sultan, hormati Sultan maka rakyat akan tunduk. Itulah istimewanya rakyat Jogyakarta yang membangun perasaan dengan sultan secara turun temurun sebagai sebuah kebersamaan yang dimulai dari hutan beringin. Berawal dari sebuah hutan beringin pada tahun 1755 , keraton itu telah menjadi simbol perasaan masyarakat Jogyakarta  dengan junjungannya walaupun masyarakat Jogyakarta kini telah tumbuh menjadi masyarakat yang heterogen. Tetapi perasaan itu tetap ada dan terpelihara walaupun hal itu kini menjadi bagian kecil masyarakat jogyakarta, kecil tapi militan yang bersuara keras. Suara keras itulah yang dipakai sebagai alat politik yang membuat suara makin keras.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun