Dan rasanya sedikit terpana dan sekejap tertegun saya melihat sekilas wanita icon yang mewakili hutan ini. Selain karena gaunnya yang memang wah dan terlihat berat karena dihiasi logam dan busa spons, senyum manis dari wajahnya yang terlihat mengembang (tampak jelas meski ada aksesori di sekitar matanya) pada saat itu langsung plek mengingatkan saya pada rekan SPG Panasonic dari event elektronik sewaktu saya masih berprofesi sebagai Sales Promosi di suatu konter (SPB) kurang lebih satu setengah dekade yang lalu. Kemiripannya mempunyai skor 80 dari 100 sepertinya ^_^. Duh! mirip bertemu seorang yang lama tidak berjumpa deh. Sial. Wkwkwk... Fiuh, akhirnya menemukan beberapa perbedaan krusial diantara keduanya. Orang yang berbeda ternyata...
Memasuki Pameran Kain di dalam museum
Kembali ke pameran tadi; Gedung yang dipakai untuk Pameran Kain Tradisional terdiri dari dua lantai. Dimana dalamnya berhawa sejuk dingin seperti mall dengan penerangan yang diatur untuk menonjolkan berbagai macam kain yang dipamerkan. Ini berbeda dengan gedung lain yang terhubung dengan gedung pameran ini: yang memajang koleksi-koleksi asli museum dan terasa seperti gedung pada umumnya yang bersuhu ruang tidak dilengkapi AC. Bisa dipahami, karena kadar suhu akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan jamur atau hal-hal yang tidak diinginkan, karena koleksi-koleksi museum yang sempat saya lihat diantaranya adalah barang-barang dari teknologi yang telah kuno awal abad ke 20 (hingga era yang lebih tua) dan digantikan dengan teknologi yang lebih modern. Diantaranya adalah mesin ketik kuno, gramofon, sepeda kuno dan lain-lain.
Saya dan pengunjung lain yang ingin segera masuk setelah diresmikan (potong pita bunga) sempat dihadang oleh seorang petugas. "Maaf mas, untuk sementara pamerannya masih belum dibuka untuk umum dulu karena Bapak Bupati masih ada di dalam." Lupa juga kalau diri bukan orang penting. Hehehe... Jadi beberapa waktu kemudian saya menyibukkan diri berkeliling kompleks pelataran museum dan kembali lagi setelah kenyang ^_^ (ada beberapa penjual makanan dan ikut memeriahkan, terdapat atraksi kuda lumping makan beling di luar pagar; dengan bercanda, si pawang malah menantang pak polisi yang berjaga untuk membuktikan belingnya asli apa nggak). Dan tentunya masih terlihat pula ratusan anak-anak sekolah yang tenggelam dalam kesibukannya, berusaha untuk menyelesaikan pola yang dibuatnya.
Saat saya masuk, ada dua orang yang 'ngidung' dan kerawitan untuk memberikan kesan damai, asri, dan bersahabat bagi pengunjung. Melihat kedalam, mata begitu takjub akan keanekaragaman pola yang dibuat secara tradisional ini. Beberapa diantaranya malah sulit dipercaya dibuat dari tenunan tradisional karena tingkat halusnya tak kalah dari buatan mesin. Dan bila Anda belum juga terpukau karena ketelitian pembatik-pembatik tradisional karena detilnya pola dan pernik yang dibuat, masih ada yang mencengangkan lagi. Saya mengamati dengan detil dari jarak 10 sentimeteran pada pola anyaman tenun dan tingkat kerumitan dari kain yang berasal dari Kabupaten Sarmi di Papua ini. Susah dibayangkan bagaimana mereka membuat pola yang begitu sangat amat rumit dengan bermodal mesin tradisional dan dibuat manual. Entah berapa lama pula waktu yang dihabiskan. Orang Papua memang gila!