Mohon tunggu...
Kemal Jam
Kemal Jam Mohon Tunggu... Freelancer - Belajar Menulis dan Mengamati sekitar.

Mengamati apa yang nampak, dan menggali apa yang tak nampak. Kontak langsung dengan saya di k3malj4m@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Zonasi, Belokan Tajam yang Memupuskan Mimpi

26 Juni 2019   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2019   18:01 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem Zonasi ini merupakan belokan tajam di sistem pendidikan di Indoensia. Karena mengganti nilai lama yang sudah lama tertanam kuat, yaitu "Sekolah Favorit" 

Dengan demikian sudah selayaknya berbelok tidak tergesa-gesa. Karena masyarakat perlu waktu mengubah cara pandang dan cara hidup mereka dalam melihat pendidikan yang terbaik bagi dirinya, anak cucunya dan bangsa inj. 

Sebenarnya sistem zonasi sudah sempat diterapkan sejak PPDB 2017, dan terus dikembangkan hingga tahun ini 2019. Artinya sudah ada jangka waktu 3 kali diterapkan, sehingga apa yang salah sehingga terjadi polemik yang ramai?

Baca: Soal Sistem Zonasi PPDB 2019, Netizen "Curhat" di Akun Resmi Kemendikbud

Pertama, cara pandang masyarakat belum berubah mengenai "sekolah favorit". Artinya pandangan masyarakat terhadap sekolah-sekolah yang dahulu dianggap  favorit itu tetap sama. 

Perhatikan komplain dan curhatan dalam link diatas, nampak ada ungkapan komplain seperti, "sudah cape-cape bimbel untuk masuk sekolah impian, tetapi gagal karena sistem zonasi". JPNN.com (19/06/2019) juga mengutip salah satu orang tua wali murid di Surabaya yang mengeluh karena anaknya yang nilainya rata-rata 9 gagal masuk sekolah favorit, tetapi anak lain yang nilainya lebih jelek masuk.

Mendikbud menyatakan bahwa sistem PPDB 2019 sudah ditetapkan sejak Januari 2019, sehingga semestinya Pemda sudah mensosialisasikannya selama 6 bulan sebelum PPDB dimulai. Apalagi sistim ini juga sudah diterapkan sejak PPDB 2017. 

Lantas mengapa masih banyak protes? Sepertinya sosialisasi belum efektif menyentuh cara pandang yang lebih mendasar bagi masyarakat, sehingga tidak mengubah pola perilakunya.

Jumlah Kecamatan dan SMA Negeri di Surabaya. Sumber: http://referensi.data.kemdikbud.go.id
Jumlah Kecamatan dan SMA Negeri di Surabaya. Sumber: http://referensi.data.kemdikbud.go.id

Kedua, Jumlah sekolah sepertinya tidak merata di semua Daerah. Sehingga bukannya mengurangi diskriminasi tetapi justru menambah diskriminasi baru, yaitu diskriminasi terhadap siswa yang rumahnya lebih jauh dari sekolah. 

Contohnya saja di Surabaya, di Surabaya terdapat 31 Kecamatan tetapi total sekolah SMA Negeri hanya sebanyak 25 Sekolah. Itupun jumlahnya timpang, kecamatan Genteng mencapai 5 sekolah sedangkan kecamatan seperti Karang Pilang, Gunung Anyar, Wonokromo, dan lain-lain tidak terdapat SMA Negeri satupun. Lihat Gambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun