Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pemberontakan Cinderela

23 Mei 2019   08:21 Diperbarui: 23 Mei 2019   08:26 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DURI LANDAK XII

Senen pagi murid-murid berkumpul untuk melaksanakan upacara bendera. Setelah upacara selesai, tak seperti biasanya, para murid diminta untuk tetap berada di tempatnya karena ada pengumuman penting tambahan dari Kepala Sekolah.

Terdengar gerutuan kesal di sana sini. Maklumlah, pagi itu cuaca begitu cerah hingga terasa panas.

Pak Kepala Sekolah lalu naik ke panggung,

"Selamat pagi anak-anak!" sapa beliau.

"Selamat pagi, Paaak" jawab murid-murid.


"Bapak harap kalian bisa sabar sebentar untuk mendengarkan pengumuman penting pagi ini. Tapi kalian jangan khawatir. Pengumuman ini tidak ada hubungannya dengan ujian dadakan, kenaikan uang sekolah dan kenaikan harga BBM. Dan ibu kantin juga menitipkan pesan pada Bapak, agar menyampaikan pada kalian bahwa isu kenaikan harga nasi uduk di kantin juga tidak benar" kata Kepala Sekolah dengan senyum kebapakan.

Anak-anak tertawa mendengar ini.

"Nah... pengumuman kita pagi ini menyangkut tentang kedatangan siswa baru yang mulai hari ini secara resmi akan bergabung sebagai murid di sekolah kita ini. Bapak yakin kalian semua akan merasa gembira menyambutnya di sekolah ini" kata Kepala Sekolah.

Dideretan kelas dua, Aya menatap ke arah podium dengan heran,

"Murid baru saja sampai diumumin ama Kepsek. Siapa sih dia?"

"Iya nih. Tumben Pak Kepsek segitu repotnya! Perasaan selama ini kalau ada murid baru, paling digelindingin aja kayak bola dari ruang Kepsek sampai ke dalam kelas. Ndak pake diumumin selesai upacara segala!" jawab Riska.

"Eh... denger-denger yang bakalan datang itu anaknya orang penting loh" sahut Nana.

Wajah Aya terlihat sewot,

"Sepenting apa sih dia, sampe-sampe bikin kita kepanasan pagi-pagi begini." keluhnya. "Kayak nyambut kedatangan tamu negara aja!"

Riska menganggukan kepala tanda setuju.

Sementara itu di deretan kelas tiga, Jaja sedang mengipas-ngipas wajahnya yang kepanasan dengan ekspresi jengkel,

"Eh, Rick. Menurut lo murid baru itu cowok ape cewek? Trus kelas berape? Kalo ampe die anak kelas 2, lansung aye ospek di tempat tuh anak. Berani-beraninya bikin Jaja berjemur kayak gini. Padahal muka aye habis perawatan nih"

"Mudah-mudahan cewek ya, Ja" sambung Supardi.

Erick hanya meringis menatap Jaja dan Supardi.

"Ah aye kagak peduli. Mau cewek kek, mau cowok kek, sama aje! Asalkan kalau die cowok, die kagak boleh lebih ganteng dari pade ane. Awas kalau iye" kata Jaja lagi dengan nada penuh ancaman.

Erick tersenyum meringis mendengar hal itu. Ia menundukan kepalanya dan memukul jidadnya sambil bergumam pelan,

"Mati aku"

Pak Kepsek masih terlihat asyik memberikan wejangan tentang menerima orang baru dalam lingkungan kita, tanpa mempedulikan keluhan kepanasan dari murid-murid.

"~~~~~~ Bapak percaya kalian akan menerima dan menjaga teman baru kalian dengan baik." katanya.

Tiba-tiba Pak Kepsek menolehkan wajahnya ke arah gerbang sekolah dan berseru gembira,

"Nah itu dia sudah datang!"

Semua murid serentak mengarahkan pandangan mereka ke arah gerbang sekolah dengan wajah penasaran. Dari gerbang, masuk iringan-iringan 3 mobil mewah dan berhenti di dekat lapangan. Dari mobil yang pertama dan ketiga keluar beberapa pengawal kerajaan dan bersiaga di mobil yang berada di tengah. Lalu mobil yang membawa Ivan terbuka dan Pengawal Ivan keluar dari kursi depan kemudian membukakan pintu belakang. Dari sana Ivan keluar mengenakan seragam lengkap. Ivan lalu menyandang tas yang dibawanya dan tersenyum pada semua orang, yang sedang menatapnya dengan wajah melongo. Pengawal Ivan menutup pintu dan mengiringi Ivan berjalan menuju panggung tempat Pak Kepsek sedang menantinya. Semua murid mengikuti langkahnya dengan wajah kaget.

Aya tak bisa berkata. Wajahnya berubah pucat. Ia menggerak-gerakan jarinya tegang sambil menunjuk-nunjuk Ivan.

Di deretan kelas tiga IPA 1, Erick menatap teman-temannya dengan ekspresi meringis. Ia perlahan mengalihkan pandangannya menatap Jaja, yang balas menatapnya dengan wajah geram dan tubuh gemetar menahan marah.

Jaja mengepalkan tinjunya ke atas,

"Eeerrriiiiiiccckk"

Erick tersenyum meringis penuh permohonan maaf,

"Hehehe. Sorry, Jak" katanya.

Jaja tak henti menatapnya dengan ekspresi geram yang sama.

Ivan sementara itu sudah menaiki panggung dan Pak Kepsek menundukan kepala memberi hormat seraya menyalami Ivan. Ivan menjabat tangan Pak Kepsek dan tersenyum anggun. Pak Kepsek kemudian kembali menatap para murid,

"Nah anak-anak, Pangeran Ivan adalah murid baru yang tadi Bapak ceritakan" katanya masih dengan senyum kebapakan.  

Murid-murid cewek spontan menjerit histeris,

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!"

Ivan sedikit kaget menatap hal itu.

Sedangkan murid-murid yang cowok, memberikan Ivan tatapan geram.

"Tenang!" teriak Pak Disiplin, membuat semua murid lansung diam seketika.

Pak Disiplin menghembuskan nafas dan tersenyum pada Pak Kepsek,

"Silahkan dilanjutkan Bapak Kepala Sekolah" katanya.

Pak Kepsek tersenyum penuh terima kasih pada Pak Disiplin lalu kembali menatap murid-murid,

"Bapak yakin kalau kalian semua akan gembira menyambut kehadiran Yang Mulia Pangeran Ivan di sekolah ini"

Ekspresi para murid cowok semakin terlihat cemberut.

"Dengan ini secara resmi Bapak umumkan, Yang Mulia Putra Mahkota Pangeran Ivan Prasetya Adinegara Suryadininggrat mulai hari ini akan melanjutkan sekolahnya di sekolah kita ini. Ayooo... mana tepuk tangannya?" kata Pak Kepsek penuh senyuman.  

Murid-murid cewek (kecuali Aya yang masih tampak pucat) bertepuk dengan antusias. Sementara yang cowok, terlihat ogah-ogahan.

 "Kalian semua pasti tahu siapa Pangeran Ivan dan apa kedudukannya di negara kita ini. Bapak berharap kalian mau mengerti dan memahami serta memberikan privacy yang diinginkannya. Jangan membuat Pangeran Ivan sampai merasa tidak nyaman berada di sekolah kita ini. Kita perlihatkan pada Pangeran Ivan bahwa kita semua adalah masyarakat ilmiah, bukan alamiah. Beri dia ruang untuk bernafas dan jangan mengganggunya."

Tiba-tiba terdengar celetukan dari Jaja,

"Sekalian saja, Pak... berikan kelas pribadi, kamar mandi pribadi atawa kantin pribadi. Kalau kagak mau keganggu ngapain juga sekolah di sini" katanya yang disambut tawa semua murid cowok dan tatapan kesal dari semua murid cewek.

Sementara para pengawal Ivan terlihat waspada seketika menatap ke arah Jaja.

"JAJAAA! BUKU KASUS!" teriak Pak Disiplin.

Murid-murid lansung diam.

Ivan menatap Kepsek sambil tersenyum,

"Bisakah saya diizinkan untuk menyampaikan sesuatu Bapak Kepala Sekolah?" tanyanya sopan.

"Silahkan, Yang Mulia" jawab Pak Kepsek.

Kepsek lalu mundur memberikan Ivan tempat di depan mike. Ivan tersenyum mengucapkan terima kasih dan berdiri di depan mike. Ia tersenyum ramah pada semua murid,

"Selamat pagi teman-teman semua. Hari ini saya senang sekali karena bisa belajar di sekolah ini. Saya tahu kalau sekolah ini merupakan sekolah terbaik dan berprestasi di negara kita. Semua prestasi dan nama baik yang didapat sekolah ini, sungguh membuat saya kagum. Merupakan sebuah keberuntungan bagi saya karena bisa menjadi bagian dari tempat ini dan bergaul dengan teman-teman yang saya yakin merupakan murid-murid pilihan yang memiliki segudang prestasi. Saya berharap teman-teman mengizinkan saya menjadi bagian dari sekolah ini. Tidak perlu memberikan saya perlakuan khusus. Karena ketika saya memasuki gerbang sekolah, saya sama seperti teman-teman semua. Saya hanyalah seorang murid yang membutuhkan ilmu dan bimbingan dari para guru yang terhormat. Karena itu tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Yang Mulia atau Pangeran Ivan. Cukup panggil saja saya dengan nama saya... Ivan. Karena baru dengan demikianlah, saya bisa merasakan bahwa saya adalah bagian dari teman-teman dan juga sekolah ini" kata Ivan.

Pak Kepsek dan para guru bertepuk tangan dengan antusias, baru kemudian murid-murid menyusul.

Aya bertambah pucat dan kakinya terlihat gemetar,

"Aduh, Ris. Tolongin aku dong! Aku tidak mau masuk penjara! Hiks..hiks.." tangisnya pelan.

Riska menepuk-nepuk pundak Aya penuh simpati,

"Tenang, Ay. Lo tidak usah takut. Siapa tahu Pangeran Ivan tidak mengenali lo lagi. Kejadiannya kan udah lama"

Wajah Aya lansung berubah mendengar hal itu. Ia berdiri tegak dengan ekspresinya terlihat tegang.

"Benar juga! Kejadiannya sudah lama dan waktu itu aku juga mengenakan topeng! Jadi pasti dia tidak mengenaliku. YA! Pasti tidak kenal!" katanya penuh keyakinan sambil terus bergumam, "Tidak kenal... tidak kenal... tidak kenal" Aya menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya penuh harap, "Nggak kenal, Ya Allah! Aku mohon, jangan biarkan dia mengenaliku" gumamnya.

Riska menatap Aya dengan pandangan iba.

@@@

Pengawal Ivan berjaga di depan kelas IPA 3 A.

Di dalam kelas, semua murid menatap Ivan, yang duduk di deretan belakang bersama Erick. Murid yang perempuan menatapnya dengan wajah penuh pemujaan, sementara murid laki-laki menatapnya dengan geram. Ivan terlihat heran menatap semua teman-teman sekelasnya. Lalu tatapannya beralih pada Jaja, yang saat itu sedang berdiri dengan satu kaki di atas kursi dan memandangnya penuh permusuhan.

Ivan menyenggol tangan Erick, tanpa melepaskan tatapannya dari Jaja dan berbisik pelan,

"Apa ini hanya perasaanku atau memang saat ini semua laki-laki yang ada di ruangan ini, sepertinya tidak menyukai kehadiranku?" tanya Ivan.

Erick menatap Ivan dengan pandangan iba,

"Jangan khawatir. Bukan hanya murid laki-laki di kelas ini kok. Tapi semua murid laki-laki yang ada di sekolah ini."

Ivan menatap Erick dengan wajah penuh tanda tanya.

Erick tersenyum meringis,

"Yang penting kau tidak lupa membawa aspirinmu kan?" katanya lagi.

Ivan menjadi bertambah bingung,

"Aspirin?"

Erick menepuk pundak Ivan dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah prihatin. Ia kemudian menyembunyikan wajahnya di balik buku yang sengaja dibukanya.

Ivan menatap Erick, yang semakin menyembunyikan wajahnya di balik buku, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada Jaja. Jaja balas menatap Ivan sambil mengeluarkan suara seperti anjing yang sedang marah,

"Gggrrrrr..."

@@@

Kepala Riska muncul di pintu kelas dua. Riska melihat ke kiri dan ke kanan dengan wajah penuh perhitungan. Lalu Riska menatap ke arah belakangnya.

"Aman, Ay!" bisik Riska.

Dengan cepat, Riska keluar dari kelas 2 A disusul oleh Aya yang menutup kepalanya dengan taplak meja dan berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Mereka berjalan merayap di dinding menuju toilet. Aya begitu berusaha menyembunyikan wajahnya hingga ia terkadang menabrak orang, pintu atau jendela kelas lain.

@@@

Ivan melongo tak percaya menatap Erick yang sedang duduk santai di kursi yang ada di lantai dua gedung hantu milik sekolah,

"Jadi mereka semua memberikan tatapan penuh permusuhan padaku hanya karena masalah tidak penting seperti itu?!" katanya kaget. Ivan menghembuskan nafas tak percaya.

 "Jangan salah, Bro. Bagimu ini mungkin masalah yang tidak penting. Tapi bagi semua cowok-cowok yang sudah lama berada di sekolah ini, Daftar Cowok Terfavorit merupakan daftar penting yang menentukan tinggi rendahnya harga diri dan martabat seorang cowok di sekolah ini. Karena daftar itu dibuat berdasarkan kategori kepopuleran, ketampanan dan juga kecerdasan. Yang menjadi peringkat pertama, merupakan cowok yang dianggap memenuhi semua criteria itu" jelas Erick seraya menikmati teh kotaknya.

"Kalian menentukan harga diri dan martabat dengan daftar tak berguna seperti itu?!" Ivan menggeleng takjub.

Erick tersenyum kecil,

"Yaaa kurang lebih seperti itu deh" jawabnya.

"Dan aku mengira isi sekolah ini hanyalah murid-murid yang lebih mementingkan prestasi dari pada hal-hal yang tidak jelas seperti ini. Bagaimana caranya sekolah ini bisa menyembunyikan kekonyolan tingkah kalian dibalik nama harumnya?!" ejek Ivan pada Erick.

Erick terkekeh geli,

"Prestasi so pasti, Bro! Tapi harga diri tidak kalah pentingnya kan?!" jawab Erick santai.

Erick lalu berdiri mendekati Ivan dan menepuk pundaknya,

"Jadi nasehatku yang pertama bagi murid baru sepertimu, sebaiknya kau berhati-hati. Kehadiranmu mengancam para cowok yang terdaftar di sekolah ini. Aku sih tidak masalah, karena paling aku hanya akan terdepak ke posisi kedua" kata Erick dengan lagak angkuh. "Tapi yang paling harus kau waspadai adalah Jaja. Sebelum kau ada di sini, dia selalu menjadi juru kunci di daftar itu. Sekarang kau akan mendepaknya semakin jauh" ingat Erick.

Ivan hanya bisa tersenyum mendengar hal itu.

@@@

Sekelompok murid wanita mendekati mading sekolah sambil membawa selembar karton besar. Mereka lalu merobek kertas karton yang terdapat di madding dan menggantinya dengan kertas karton yang mereka bawa.

Beberapa murid mendekati mading untuk membaca isi karton itu. Lydia, salah seorang murid wanita yang membawa kertas karton, memutar badannya menatap semua teman-temannya.

"Teman-teman dan junior-junior sekalian, kami dari tim penyeleksi cowok terfavorit di sekolah ini ingin memberikan pengumuman penting!" Lydia lalu berdehem dengan gaya sombong, "Dengan masuknya Yang Mulia Pangeran Ivan ke sekolah kita ini, otomaticly daftar cowok terfavorit yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi"

Murid-murid yang wanita bertepuk tangan dengan antusias. Sementara yang pria terlihat kesal.

"Oleh sebab itu, dengan bangga kami persembahkan DAFTAR COWOK TERFAVORIT terbaru!" kata Lydia bergeser dari mading sekolah bersama teman-temannya dengan gaya centil.

Murid-murid lain berebut mendekat dan mulai membacanya. Terdengar seruan-seruan antusias murid perempuan bercampur dengan  keluhan kesal dari murid yang laki-laki.  Murid laki-laki yang membaca daftar itu terlihat menjauh dari madding dengan ekspresi lesu dan menggerutu.

Jaja dan teman-temannya mendekati mading itu dengan gaya sok berkuasa,

"Minggir. Minggir. Senior mau lewat!" serunya.

Murid-murid yang berada di depan mading lalu minggir memberi jalan pada Jaja dan teman-temannya. Jaja membaca tulisan di kertas karton itu dengan suara lantang,

"Daftar Cowok Terfavorit!" Jaja menatap salah seorang murid yang berdiri tak jauh dari mading, "Eh lo! Ini daftar yang terbaru bukan?!" tanyanya galak.

Murid pria yang ditanyanya mengangguk lesu,

"Iya, Senior. Baru saja diganti"

Jaja terlihat mangut-mangut. Lalu dengan angkuh dia mulai memeriksa daftar itu.

"Kire-kire aye naik ke peringkat berape yee?"

Perlahan Jaja menyusuri daftar itu dengan jarinya dari urutan pertama hingga terus turun ke bawah. Wajah Jaja terlihat semakin pucat dengan semakin mendekatnya jarinya ke urutan paling bawah. Dan akhirnya, di nomor paling terakhir, ia baru berhasil menemukan namanya tertera dengan manis di sana. Jaja menunjuk namanya dengan tangan gemetar dan wajah terlihat shock.

"149..149...149" gumamnya pucat.

Jaja jatuh berlutut di depan mading, sementara kedua tangannya memegang pinggiran mading sambil terus bergumam gemetar tak percaya,

"149..149...149...149"

Teman-teman Jaja menatap Jaja dengan pandangan iba. Karena nomor 149 merupakan juru kunci di daftar itu. Dengan kata lain, Jaja dianggap sebagai cowok paling tidak popular, paling tidak pinter dan tidak ada seorang murid wanitapun yang menyukainya di sekolah ini.

Supardi berjongkok, mencoba untuk menenangkan Jaja sambil menepuk-nepuk pundaknya hendak memberi kekuatan,

"Sing sabar, Jak. Sampeyan mesti sabar. Anggap saja ini cobaan hidup. Syukuri apa yang sudah diberikan Allah. Anggap ini rahmat dan anugrah yang tidak terkira dari Allah yang diberikan buat hambanya. Mudah- mudahan ini bukan azab. Karena menurut pak ustad..."

Ucapan Supardi terhenti seketika saat melihat Jaja, yang masih gemetaran, memberikannya tatapan galak. Supardi langsung menutup mulutnya.

Sementara itu Erick dan Ivan berjalan mendekati kerumunun siswa yang ada di depan mading. Erick mendekati seorang siswa,

"Ada apa nih?" tanyanya.

Siswa itu menatap Erick lesu,

"Itu Senior, daftar murid terfavorit yang paling baru yang baru saja ditempel" jawab murid itu.

Erick menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,

"Wah.. cepat juga. Aku tahu kalau daftar  itu akan diganti, tapi tidak menyangka kalau secepat ini" keluhnya menatap Ivan.

Ivan hanya tersenyum kecil mendengar ucapannya.

Erick menghela nafas pasrah,

"Yah apa boleh buat! Kelihatannya aku akan turun ke peringkat ke dua" katanya penuh percaya diri.

Ivan hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ucapan sepupunya.

Mereka lalu mendekati mading dan lansung menatap 'pemandangan' yang ada di depan mading dengan wajah bingung. Erick mendekati Jaja,

"Lo kenapa, Jak?" tanyanya heran.

Jaja tidak menjawab melainkan tetap bergumam dengan tangan gemetar. Supardi menghela nafas menatap Jaja, lalu ia mengalihkan pandangannya pada Erick,

"Jaja lagi shock berat, Rick. Namanya ada di peringkat paling bawah" jelas Supardi.

"Lalu apa yang membuat lo shock, Jak? Selama ini kan juga begitu" kata Erick heran.  

Jaja spontan memberikan Erick tatapan marah.

Erick langsung nyengir membalas tatapan Jaja,

"Eh.. sorry, Jak. Aku kan hanya mengatakan hal yang sejujurnya. Bohong itu dosa" kata Erick.

Jaja langsung meringis menahan tangis. Tiba-tiba Jaja memukul-mukulkan kepala ke tangannya yang sedang memegang mading sambil terus berseru pilu,

"149...149...149"

Erick menepuk pundak Jaja,

"Sabar, Jak. Jangan berlebihan. Aku juga turun kok. Tapi lihat, I still calm, cool and confident" kata Erick sombong.

Sambil tersenyum sok bijak, Erick kembali memberikan tepukan di pundak Jaja dan mendekati mading itu untuk mencari namanya.

"Nomor dua, nomor dua!" serunya penuh percaya diri.

Erick lalu menyusuri daftar itu dan wajahnya berubah kaget karena di nomor dua tidak ada namanya, melainkan di sana tertulis 'Pangeran Ivan'. Erick dengan ragu menatap kearah nomor satu, hanya untuk kembali menemukan nama 'Pangeran Ivan' di sana. Ekspresi Erick berubah gemetar dan penuh harap ia menatap ke arah nomor tiga dan kembali hanya untuk kembali menemukan nama 'Pangeran Ivan' tertulis, dengan tambahan gambar hati, di sana.

Dengan pasrah Erick menatap ke nomor 4 sebelum akhirnya dia baru bisa menemukan namanya di sana. Perlahan Erick memutar badannya menatap Ivan, yang sedari tadi mengawasi peristiwa itu, dengan wajah geram dan tangan terkepal gemetar. Ivan membalas tatapan Erick dengan senyum meringis.

Wajah Erick berubah jengkel setengah mati,

"Brrroooooo!" katanya menunjuk Ivan dengan tangan gemetar.

Spontan mata semua cowok yang ada di sekitar mading menatap Ivan dengan tatapan jengkel. Jaja bahkan menatap Ivan dengan ekspresi gemetar menahan marah. Dilain pihak, para siswi yang ada di sekitar mading, memberikan tatapan penuh pemujaan pada Ivan.

Ivan tersenyum meringis menatap kesekelilingnya. Ia menghembuskan nafas kencang dan menyandarkan tubuhnya di dinding pembatas seraya memegang pelipisnya, seakan ia terserang sakit kepala tiba-tiba. Ivan bergumam sambil memeriksa seluruh badannya,

"Aspirinku mana? Dimana ku letakkan aspirinku?"

@@@

Raja, Ratu, Ivan dan Erick sedang santap malam bersama di istana.

"Ananda Pangeran, bagaimana hari pertama Ananda di sekolah? Apa menyenangkan?" tanya Raja pada Ivan.

Ivan menatap Raja sejenak, sebelum sekilas melirik Erick. Erick membalas lirikan Ivan dengan ekspresi geram sambil memakan makanannya. Ivan tersenyum kecil. Ia kembali menatap Raja,

"Hari pertama Ananda berlansung dengan baik, Yang Mulia. Ananda tidak menyangka kalau Ananda akan disambut dan diterima dengan baik di sana. Semua murid yang ada di sekolah itu sangat gembira dengan kehadiran Ananda" jawab Ivan.

"Menyambut Ananda Pangeran dengan baik dan gembira? Benarkah? Apa Ananda Pangeran tidak mendapat gangguan ataupun merasa tidak nyaman?" tanya Ratu khawatir.

Ivan tersenyum menenangkan Ratu,

"Ibunda Yang Mulia tidak perlu khawatir. Ananda tidak merasa terganggu sama sekali. Murid yang ada di sana menerima kehadiran Ananda dan memperlakukan Ananda dengan baik." jawab Ivan yang kembali melirik Erick, yang masih memberikannya tatapan geram.

Erick menusuk makanan yang ada di piringnya menggunakan garpu dan memakannya dengan wajah kesal. Ivan tersenyum kecil.

Raja tersenyum pada Ratu,

"Pangeran benar. Sebaiknya kita tidak perlu terlalu khawatir. Lagi pula bukankah ada Erick yang akan menemani dan membantu Pangeran selama belajar di sana" Raja tersenyum ramah pada Erick, "Betulkan Erick?" tanya Raja.

Erick tersentak kaget,

"Eh... iya, Yang Mulia. Saya akan menjaga dan membantu Yang Mulia Pangeran dengan baik." Erick lalu melirik Ivan dengan wajah geram, "Tuanku Yang Mulia jangan khawatir"

Ivan tersenyum kecil menikmati makanannya. Raja dan Ratu tersenyum lega. Erick tersenyum pada Raja dan Ratu sebelum kembali menundukan kepalanya dan menusuk makanannya dengan lesu.

@@@

Memey menatap Aya dengan wajah tak percaya,

"Pangeran itu sekolah di tempatmu?!" serunya kaget.

Aya mengangguk lesu.

"Astagaa! Ini artinya bencana! Gaswat! Benar-benar gaswat!" Memey menatap Aya dengan wajah tegang, "Apa pangeran itu mengenalimu?" tanyanya.

Aya menggeleng lesu,

"Nggak tahu, Mbak. Seharian ini Aya mendekam terus dalam kelas. Ndak mau keluar. Takut ketemu ama pangeran itu. Kalaupun ke toilet harus pake nyamar segala" keluh Aya.

"Sampai kapan kamu bisa menghindar, Dek?! Bisa-bisa hidupmu ndak bakalan tenang sekolah di sana" kata Memey prihatin.

Aya tersenyum lesu,

"Mau gimana lagi, Mbak" jawabnya.

Untuk sesaat ada keheningan di antara mereka. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak lama Memey menatap Aya dengan ekspresi penuh peringatan,

"Ingat! Apapun yang terjadi nanti, tidak ada seorangpun yang boleh tahu kalau malam itu kamu ada di pesta itu! Karena jika sampai bocor dan didengar pangeran itu..." Memey melakukan gerakan seperti menyembelih lehernya, "... kamu bisa mati atau paling tidak kamu akan mendapatkan tiket kelas satu menuju PENJARA!" ingat Memey.

Aya menatap Memey dengan wajah pucat,

"Mbak Memey benar!"

Aya lalu berdiri dan mengangkat tangannya seperti bersumpah,

"Aya bersumpah! Walaupun kepala Aya ditodong senjata, tank, bazooka atau bahkan tubuh Aya dilingkari ikat pinggang bom sekalipun..." Aya menyilangkan  kedua jari telunjuknya di depan mulutnya "... mulut Aya akan terkunci rapat. Tidak ada seorangpun yang akan tahu selain Mbak Memey dan Bang Romli, kalau malam itu Aya ada di sana! Aya janji!" katanya sambil mengangguk tegas.

Memey mengacungkan kedua jempolnya dan ikut menganggukan kepala tanda menyetujui.

@@@

Ivan sedang duduk bersandar di belakang meja belajarnya dan menatap Erick (yang masih terlihat kesal) yang duduk tak jauh darinya.

"Sudahlah, Rick. Jangan kekanak-kanakan! Kau tidak boleh marah padaku. Bukan aku yang menulis daftar konyol itu"

Erick menatap Ivan dengan wajah lesu,

"Ya aku tahu. Itu memang bukan kesalahanmu. Tapi tetap saja aku tidak terima. Kehadiranmu malah mendepakku begitu jauh. Nomor 4! Yang benar saja!" serunya kesal. Wajah Erick berubah menjadi jengkel, "Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh para pembuat daftar konyol itu. Apa mereka tidak punya pekerjaan lain selain menyusun daftar yang tidak berguna seperti itu?!"

Ivan tertawa kecil mendengar ucapan Erick,

"Daftar tak berguna hah?!"

Erick tersenyum kecil. Akhirnya ia menghela nafas panjang,

"Ah.. sudahlah. Siapa suruh aku punya sepupu seorang pangeran"

"Salahmu sendiri! Mengukur harga diri dan martabat dengan daftar tak berguna itu. Tidak masuk akal!" kata Ivan menyambar bola karet kesayangannya yang ada di atas meja dan memainkan bola itu.

Erick mendesah pelan,

"Aku yang turun ke peringkat 4 saja, sudah jengkel begini." Erick menatap Ivan, "Apalagi Jaja"

Ivan hanya tersenyum kecil menatap bola yang ada di tangannya. Ia sepertinya melamun.

"Ada apa, Bro? Mengkhawatirkan sesuatu? Apa kau sedang memikirkan gadis itu?" tanya Erick.

"Menurutmu dia ada di sana?" tanya Ivan mengamati bola di tangannya.

Erick mengangkat kedua bahunya,

"Jangan tanya aku! Kalau aku tahu gadis 'mu' ada di sana, pasti kau akan ku beritahu. Jadi kau tidak perlu memilih melanjutkan studymu di sekolahku dan mendepakku turun begitu jauh" keluh Erick.

Ivan tersenyum kecil dan kembali memainkan bola di tangannya. Erick berdiri dari tempat duduknya dan mendekati meja Ivan. Erick meraih sepatu Aya dan mengamatinya.

"Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya membuat gadis itu keluar dari persembunyiannya"

Ivan menatap Erick dengan ekspresi tertarik,

"Kau punya cara?" tanyanya.

Erick menggelengkan kepalanya sambil meletakan sepatu itu kembali ke tempatnya. Erick menatap Ivan,

"Satu-satunya cara yang saat ini terlintas di benakku adalah meminta semua gadis berambut panjang yang ada di sekolah untuk melepas sepatu mereka dan memasangkan sepatu ini ke kaki mereka satu persatu!"

Ivan menggeleng pelan,

"Cara  itu berbahaya. Jika media sampai tahu, bisa terjadi skandal memalukan."

Erick mengangguk,

"Benar. Kemudian Tuanku Yang Mulia akan menggantung kita berdua. Ups.. salah! Aku ralat. Maksudku adalah Yang Mulia hanya akan menggantungku dan melepaskanmu untuk meneruskan tahta"

"Aku rasa aku lebih memilih digantung bersamamu dari pada dicekik pelan-pelan" jawab Ivan tersenyum pada Erick.

Mereka berdua tertawa kecil.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

"Masuk" perintah Ivan menatap pintu.

Harun lalu masuk dan memberi hormat pada Ivan dan Erick,

"Maafkan kalau saya mengganggu, Yang Mulia Pangeran" kata Harun.

"Ada apa Pak Harun?"

Harun mendekati Ivan dan menyerahkan sebuah map. Ivan menerima map itu dan membaca isinya.

"Ini adalah daftar rencana Festival Kebudayaan Melayu Dunia yang akan berlansung sebentar lagi di negara kita, Yang Mulia"

"Mereka menyertakan hasil rapat yang terakhir bukan?" tanya Ivan.

Harun mengangguk,

"Benar, Yang Mulia.  Pertimbangan Yang Mulia tentang tempat dan acara menjadi perhatian yang dicermati oleh panitia festival ini"

Ivan mengangguk-anggukan kepalanya,

"Aku akan mempelajari daftar ini terlebih dahulu" katanya menatap Harun.

"Baik, Yang Mulia" jawab Harun. "Apakah Yang Mulia masih butuh sesuatu?" tanya Harun lagi.

"Tidak. Cukup untuk hari ini Pak Harun. Pak Harun beristirahatlah." kata Ivan.

"Baik, Yang Mulia Pangeran. Kalau demikian saya mohon diri. " jawab Harun. Harun lalu menatap Erick, "Saya permisi dahulu, Tuan Erick." sapanya.

Erick mengangguk,

"Selamat malam Pak Harun."

"Selamat malam, Tuan Erick." jawab Harun balas tersenyum.

Harun lalu memberi hormat pada Ivan dan Erick dan berinsut mundur.

"Tunggu, Pak Harun!" panggil Ivan tiba-tiba.

Pak Harun berhenti dan menunduk penuh hormat,

"Saya, Yang Mulia Pangeran"

"Bisakah Bapak meminta dokter istana untuk menambah persediaan aspirinku?" tanya Ivan.

Harun menatap Ivan khawatir,

"Apa Yang Mulia Pangeran sedang tidak sehat? Apa maag Yang Mulia kambuh lagi?! Saya akan segera memanggil dokter istana." kata Harun cemas.

Ivan tersenyum menenangkan Harun,

"Jangan khawatir, Pak Harun. Aku sehat-sehat saja. Obat itu hanya untuk berjaga-jaga." jelas Ivan melirik Erick, yang balas menatapnya dengan senyum jenaka.

Harun tampak bingung menatap kedua pemuda itu.

"Baik, Yang Mulia Pangeran. Jika memang Yang Mulia tidak apa-apa, saya merasa sangat lega. Saya akan menyampaikan titah anda pada dokter istana. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan untuk Yang Mulia?" tanya Harun.

"Tidak ada Pak Harun."

"Jika demikian saya mohon diri" kata Harun kembali memberi hormat pada Ivan dan Erick. Harun lalu beranjak pergi dari tempat itu .

Di depan pintu ruang belajar Ivan, Harun seperti kebingungan menatap pintu yang tertutup,

"Aspirin?"

Sementara di ruang belajar, Erick tersenyum jenaka pada Ivan,

"Sedang bersiap untuk naik tahta, Bro?!" godanya.

Ivan tersenyum masam,

"Persiapan itu sudah ku lakukan semenjak Yang Mulia Permaisuri mengandung diriku" Ivan membuka map yang tadi diserahkan Harun dan membaca isinya, "Sekarang hanya tinggal menunggu waktu." sambung Ivan dengan nada pahit.

Erick tampak khawatir,

"Apa kesehatan Tuanku Yang Mulia sudah begitu buruk?" tanyanya.

Ivan berhenti membaca map itu dan tersenyum pada Erick,

"Jangan khawatir, Rick. Beliau sehat-sehat saja. Hanya saja beliau butuh lebih banyak istirahat. Tapi beliau baik-baik saja"kata Ivan. "Aku akan pastikan hal itu" katanya lagi penuh tekad.

Ivan kembali membaca map yang ada di tangannya. Sementara Erick menatapnya penuh pengertian.

@@@

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun