Hukum Adat dan Hukum NasionalÂ
Di banyak negara, termasuk Indonesia, hubungan antara hukum adat dan hukum nasional bisa menjadi kompleks dan bervariasi tergantung pada sejumlah faktor termasuk regulasi hukum dan praktik hukum di negara tersebut. Pada dasarnya, hukum nasional di Indonesia diakui sebagai otoritas tertinggi, dan dalam situasi konflik antara hukum adat dan hukum nasional, hukum nasional memiliki kekuatan yang lebih tinggi. Pada tahun 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan mengadopsi UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai dasar hukum tertinggi. UUD 1945 memberikan dasar bagi pembentukan hukum nasional dan memandatkan bahwa hukum nasional harus diakui sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, penting untuk dicatat bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya dan etnis, dan di beberapa daerah, hukum adat masih sangat memegang peranan penting dalam pengaturan kehidupan masyarakat. Pemerintah Indonesia di beberapa kasus memberikan ruang untuk praktik hukum adat dalam batas-batas tertentu, mengakui pentingnya tradisi dan norma lokal.
Dalam konteks hukum adat dan hukum nasional di Indonesia, perlu dicari keseimbangan untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Apabila praktik hukum adat bertentangan dengan prinsip- prinsip hak asasi manusia atau norma-norma hukum nasional yang lebih tinggi, maka hukum nasional diharapkan untuk mengatasi atau melibatkan proses harmonisasi yang sesuai. Dengan demikian, hukum adat memiliki keberlanjutan dan keberlakuan di tingkat lokal dan hukum nasional tetap menjadi payung hukum tertinggi di tingkat nasional dan dapat mengatasi hukum adat dalam kasus konflik.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Â
Praktik kawin tangkap di Sumba, yang berakar dalam warisan budaya, membawa konflik yang merentang antara tradisi perkawinan dan hak-hak individu, khususnya hak-hak perempuan. Dalam upaya untuk merangkul aspek budaya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan bebas dari kedua belah pihak, menghindari paksaan dalam setiap bentuknya. Meskipun prinsipprinsip ini menjadi dasar hukum, praktik kawin tangkap di Sumba seringkali melibatkan pemaksaan dan kekerasan terhadap perempuan, yang bertentangan dengan semangat undangundang tersebut. Dalam konteks ini, pertentangan nilai budaya pun muncul, menggambarkan konflik antara pemeliharaan tradisi perkawinan Sumba dan perlindungan hak-hak individu. Terdapat argumen bahwa praktik kawin tangkap yang sesuai aturan, melibatkan keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi, seharusnya tidak menjadi representasi yang merugikan. Namun, distorsi dalam pelaksanaannya telah mengakibatkan ketidaksetaraan gender, kekerasan, dan pemaksaan.
Upaya pemerintah untuk mengakhiri praktik kawin tangkap mencerminkan pengakuan akan dampak negatif terhadap hak-hak perempuan. Namun, kurangnya respons tegas dan sanksi hukum yang jelas menciptakan celah bagi praktek ini untuk tetap bertahan. Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diperlukan untuk memastikan bahwa ketentuannya dapat lebih responsif terhadap realitas sosial dan budaya yang berkembang, dan bahwa pelanggaran dapat ditangani secara tegas. Hal ini akan melibatkan kolaborasi yang erat antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat untuk mencapai keseimbangan yang menghormati nilai budaya tetapi juga melindungi hak-hak individu, khususnya hak-hak perempuan, dalam institusi perkawinan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI