Hari buruh merupakan momentum penting untuk menghargai perjuangan para pekerja dalam memperoleh hak-hak mereka serta meningkatkan kesejahteraan di dunia kerja. Peringatan hari buruh bukan hanya sekedar mengenang sejarah perjuangan buruh, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi para pekerja terhadap pembangunan masyarakat dan ekonomi. Seharusnya, peringatan hari buruh menjadi momen damai untuk menyuarakan hak-hak pekerja. Namun, kenyataannya peringatan hari buruh kembali diwarnai dengan insiden yang sangat memprihatinkan.
Pada aksi may day 2025, puluhan demonstran ditangkap di sejumlah titik aksi di berbagai kota besar seperti Bandung, Banda Aceh, Semarang, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sebagian peserta aksi merupakan mahasiswa dan buruh yang sedang menyampaikan aspirasi mereka secara damai. Namun, aksi May Day memanas dan terjadi ketegangan antara sebagian peserta aksi dengan aparat keamanan, yang berujung pada penangkapan dan pembatasan akses pendamping hukum bagi beberapa demonstran.Â
Peristiwa penangkapan ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan termasuk organisasi buruh, mahasiswa hingga Lembaga Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Penangkapan tersebut berpotensi melanggar hak fundamental atas kebebasan dalam berekspresi dan berkumpul secara damai yang menjadi hak-hak dasar dalam kehidupan masyarakat demokratis. Selain itu, pembatasan akses pendamping hukum bagi demonstran yang ditangkap dapat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya proses hukum yang adil.Â
Kronologi dan Fakta Penangkapan
Pada 1 Mei 2025, saat aksi Hari Buruh Internasional (May Day) di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, terjadi kericuhan yang berujung pada penangkapan 14 orang, termasuk empat paramedis dan paralegal yang bertugas sebagai tim medis di lokasi aksi. Salah satu yang ditangkap adalah Cho Yong Gi, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), yang sedang bertugas sebagai tim medis di bawah flyover Senayan. Ia hendak memberikan pertolongan kepada seorang peserta aksi yang terluka. Namun, saat hendak membantu korban, Cho Yong Gi diteriaki dan didorong  oleh seseorang yang diduga polisi hingga terjatuh. Ia kemudian dituduh melakukan pelemparan sesuatu ke arah petugas. Ia pun langsung ditangkap oleh beberapa polisi.Â
Proses penangkapan Cho Yong Gi disertai kekerasan fisik, seperti dibanting, diinjak lehernya oleh beberapa oknum polisi. Ia juga mengaku dipukuli secara membabi buta tanpa mengetahui siapa pelaku tersebut.
Tas milik Cho Yong Gi yang berisi peralatan medis juga digeledah, meskipun tidak ditemukan barang yang mencurigakan. Setelah penangkapan, Cho Yong Gi dan tersangka lain dibawa ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan. Cho Yong Gi diduga mimisan akibat penganiayaan selama penangkapan.
Polisi menuduh para tersangka, termasuk paramedis dan paralegal, tidak mematuhi perintah untuk membubarkan diri setelah tiga kali diperingatkan dan melakukan tindakan anarkistis seperti melempari kendaraan masyarakat yang melintas di jalan tol. Dari kesaksian Cho Yong Gi dan tim advokasi, tidak ada indikasi bahwa paramedis melakukan provokasi. Mereka sedang menjalankan tugas kemanusiaan membantu korban luka.Â
Apakah Penangkapan Dilakukan Secara Acak ?
Penangkapan tampaknya tidak acak, karena polisi menetapkan 14 orang tersangka yang terdiri dari peserta aksi dan tim medis/paralegal yang diduga melanggar perintah aparat. Namun, penangkapan tim medis yang sedang bertugas dan menggunakan atribut medis menimbulkan pertanyaan serius terkait prosedur dan penghormatan terhadap perlindungan petugas medis dalam aksi damai.
Pelanggaran Prosedur Standar Penangkapan