Mohon tunggu...
Mas Riyanto Riadi
Mas Riyanto Riadi Mohon Tunggu... Penulis

Belajar dan terus belajar adalah kunci utama dalam mencapai sebuah kesuksesan hakiki

Selanjutnya

Tutup

Roman

Komunitas Kasokan: Nafas Baru Budaya Madura Dari Ujung Barat Pulau Garam

26 Mei 2025   15:01 Diperbarui: 26 Mei 2025   15:01 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto Youtube Kasokan.id

Tuhan tak pernah menempatkan kita di satu tempat secara kebetulan. Selalu ada maksud dan pelajaran yang harus kita pahami. Tahun 2012, saya menginjakkan kaki di tanah yang terkenal keras jiwanya, tanah carok, tanah ujung barat Pulau Madura yaitu Bangkalan. Empat tahun saya menimba ilmu di Universitas Trunojoyo Madura. Dari sana saya mulai menyelami nilai-nilai budaya, filosofi hidup, dan kebijaksanaan lokal yang tak banyak diketahui orang luar.

Tahun 2020, saya kembali ke tempat ini, bukan lagi sebagai mahasiswa, tapi sebagai penduduk tetap karena istri saya berasal dari Bangkalan. Kembali ke tempat lama ternyata memberi saya pertemuan baru, bukan dengan masa lalu, tapi dengan sebuah gerakan budaya yang menggetarkan: Kasokan.

Kasokan bukan sekadar komunitas. Ia adalah denyut budaya Madura yang terus dijaga agar tak lenyap ditelan zaman. Berdiri pada tahun 2019 di Bangkalan, komunitas ini lahir dari kegelisahan anak-anak muda terhadap hilangnya kearifan lokal di tengah arus modernisasi. Mereka tidak ingin budaya Madura hanya jadi cerita masa lalu. Mereka ingin budaya itu hidup, tumbuh, dan menyatu dengan zaman.

Nama Kasokan berasal dari bahasa Madura, punya banyak makna: "mau", "tertawa", atau "diinginkan". Nama ini menjadi simbol dari semangat yang lentur namun kuat. Seperti musik mereka yang memadukan elemen tradisional Madura dengan sentuhan modern. Jika Jogja punya Hip Hop Foundation, Sumenep punya Lorjhu', maka Bangkalan punya Kasokan---identitas musik dan budaya yang berani menantang lupa.

Kasokan hadir bukan sekadar untuk tampil. Mereka hadir untuk mengingatkan. Bahwa budaya Madura tak hanya soal karapan sapi atau celurit, tapi juga soal cinta, filosofi, dan harmoni. Di tangan mereka, tradisi bukan barang museum, melainkan energi kreatif yang terus bergerak. Mereka menyatukan shalawat, ritme musik kontemporer, bahasa Madura, dan pesan moral dalam satu karya yang hidup.

Sebagai orang yang pernah belajar dan kini hidup kembali di Bangkalan, saya merasa tersentuh. Kasokan bukan hanya soal musik, tapi tentang perlawanan terhadap lupa. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif. Mereka adalah jembatan antara generasi tua dan muda. Dan mereka adalah bukti bahwa kearifan lokal Madura tak pernah mati---hanya perlu dihidupkan kembali dengan cinta dan kreativitas.

Kasokan bukan masa lalu, Kasokan adalah masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun