Latar belakang
1. Â Â Marcus Aurelius dan Epictetus menekankan kendali diri untuk mengelola emosi dan menerima hal yang tak bisa diubah. Dengan fokus pada kebajikan dan refleksi, pendekatan Stoik ini membawa ketenangan batin dan kebahagiaan sejati.
2. Â Â Friedrich Nietzsche mengajarkan bahwa orang kuat mencintai hidup sepenuhnya, termasuk penderitaan, sebagai jalan menuju kreativitas dan pertumbuhan. Melalui konsep "Amor Fati", "Ja Sagen", dan "eternal recurrence", ia mendorong keberanian untuk hidup autentik dan menciptakan nilai baru di tengah kekosongan zaman modern.
3. Â Â William James, pendiri pragmatisme dan "ayah psikologi Amerika", menekankan bahwa keyakinan positif mendorong tindakan nyata. Dalam The Will to Believe, ia menunjukkan bahwa percaya pada diri sendiri dapat memicu kesuksesan.
4. Â Â Albert Ellis, pencetus REBT, menekankan bahwa penderitaan sering muncul dari pikiran irasional. Terinspirasi Marcus Aurelius, ia mendorong berpikir positif dalam bukunya *A Guide to Rational Living*.
 Kelima tokoh ini menunjukkan bahwa berpikir positif bukan hanya gagasan abstrak tapi hasil dari latihan harian seperti refleksi diri, penerimaan penderitaan, dan perubahan sikap terhadap kegagalan menjadi peluang pertumbuhan.
Marcus Aurelius (121--180 M) -- Filsuf Kaum STOA
Marcus Aurelius mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati atau eudaimonia adalah keadaan kesejahteraan yang stabil dan bermakna, yang diperoleh melalui penerapan kebajikan seperti kesabaran, kejujuran, dan ketenangan batin. Untuk mencapai ini, pikiran harus dilatih agar tetap tenang, rasional, dan positif secara terus-menerus.
Salah satu pernyataan terkenalnya, "You have power over your mind, not outside events. Realize this, and you will find strength," mengilustrasikan bahwa kekuatan yang autentik datang dari kemampuan menguasai pikiran dan emosi sendiri, bukan dari mengubah keadaan eksternal, sehingga memungkinkan seseorang untuk mempertahankan ketenangan di hadapan kesulitan