Di satu sisi, negara-negara yang lebih dekat dengan AS, seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara ASEAN, mulai beralih untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Tiongkok dengan berpindah ke pasar-pasar alternatif. Di sisi lain, Tiongkok memperkuat pengaruhnya di kawasan-kawasan seperti Afrika dan Asia Tenggara dengan menjanjikan investasi besar-besaran melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI).
Akibatnya, kita melihat lahirnya "blok-blok ekonomi"Â baru yang saling bersaing, yang membagi dunia dalam dua ekosistem ekonomi yang terpisah, dan ini mengarah pada fragmentasi ekonomi global yang akan mempengaruhi arus perdagangan dan investasi internasional.
Dampak Bagi Negara Berkembang
Bagi negara-negara berkembang, perang tarif ini menghadirkan peluang dan tantangan yang besar. Di satu sisi, negara-negara yang mengadopsi kebijakan reshoring dan friendshoring (pemindahan rantai pasok ke negara-negara yang lebih dekat dengan AS atau yang memiliki hubungan politik erat dengan Barat) dapat memperoleh investasi baru dan pekerjaan. Negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Meksiko menjadi alternatif bagi perusahaan yang ingin menghindari tarif tinggi terhadap barang-barang yang diproduksi di China.
Namun, risiko fragmentasi ini juga sangat nyata. Negara-negara berkembang harus menghindari terlalu tergantung pada satu blok ekonomi untuk memastikan ketahanan ekonomi mereka. Bergantung pada satu sumber ekspor atau pemasok bisa meningkatkan kerentanannya terhadap gejolak politik dan ekonomi global.
Perang Tarif sebagai Bagian dari Proses Perubahan Tatanan Dunia
Secara keseluruhan, perang tarif AS-Tiongkok lebih dari sekadar persaingan untuk memperoleh keuntungan perdagangan sesaat. Ini adalah proses perubahan besar dalam tatanan ekonomi global yang mengguncang struktur perdagangan internasional yang telah ada sejak berakhirnya Perang Dunia II. Tatanan liberal ekonomi global, yang berlandaskan pada prinsip pasar bebas dan interkoneksi ekonomi, kini digantikan oleh sebuah sistem yang lebih terfragmentasi, di mana dua kutub kekuatan utama---AS dan Tiongkok---mencoba mendominasi dengan cara mereka masing-masing.
Perang tarif ini menciptakan ketidakpastian global yang sangat besar, yang mempengaruhi semua negara, baik yang terlibat langsung maupun yang hanya terpengaruh oleh dampak dari kebijakan proteksionisme ini. Negara-negara harus menemukan cara untuk beradaptasi, baik dengan memperkuat industri dalam negeri maupun dengan menjalin kemitraan strategis yang lebih luas dengan negara-negara lain untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu blok ekonomi tertentu.
Kesimpulan
Pada akhirnya, perang tarif AS-Tiongkok adalah gejala dari pergeseran besar dalam tatanan dunia yang sedang terjadi saat ini. Konflik ini lebih dari sekadar persaingan ekonomi atau politik, tetapi merupakan pertarungan untuk mendefinisikan kembali tatanan ekonomi dan geopolitik global yang akan memengaruhi jalannya sejarah dunia di abad ke-21. Dunia tidak lagi berada dalam tatanan global yang terintegrasi secara mulus, melainkan menuju era "bipolarisasi ekonomi" yang lebih terfragmentasi, dengan dua kekuatan besar berusaha membentuk ekosistem perdagangan dan teknologi mereka masing-masing.
Untuk negara-negara berkembang, seperti Indonesia, hal ini membuka peluang sekaligus tantangan dalam menjaga keseimbangan dalam hubungan dagang internasional. Mereka perlu cerdas dalam memanfaatkan peluang tanpa terperangkap dalam dinamika yang lebih besar ini, menghindari ketergantungan pada satu kekuatan global, dan tetap memperkuat daya saing domestik mereka di pasar global yang semakin terfragmentasi.