Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pascakebakaran Kampung Bondo Maroto, Nasibmu Kini...

1 Oktober 2018   22:14 Diperbarui: 2 Oktober 2018   15:36 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabupaten Sumba barat-Nusa Tenggara Timur terkenal bukan karena pesona wisata alamnya saja tetapi juga pesona budayanya termasuk situs rumah adat. Dari catatan penulis setidaknya ada 29 situs rumah adat di wilayah tersebut. 

Paling terkenal tentu Situs Rumah Adat Tarung Weetabar, Situs Rumah Adat Praijing, Situs Rumah Adat Bodomaroto-Kalembu Kuni, Situs Rumah Adat Gelakoko-Waebangga berada persis di tengah kota Waikabubak. 

Dengan struktur rumah panggung khas sumba, dipadukan dengan atap alang-alang dikelilingi dengan batu alam dan batu kubur di tengah kampung tentu mematik semangat wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini. Namun siapa sangka, saat euforia kepariwisataan yang tengah menggeliat musibah kebakaran menghampiri. 

Jika tahun sebelumnya, situs rumah adat tarung mengalami kebakaran yang menghanguskan 28 rumah pada tanggal 7 Oktober 2017 lalu, kejadian serupa pun kembali terjadi. Kali ini situs rumah adat Bondomaroto di desa Kalembu Kuni-Kota Waikabubak. Kejadian ini terjadi tanggal 11 September lalu dan berlangsung begitu cepat. Tidak ada bangunan yang tersisa. 

Semuanya seolah lenyap dalam hitungan detik meninggalkan puing-puing tiang rumah yang dicor semen. Begitupun dengan batu kubur dan beberapa barang keramat milik warga kampung adat itu. Semua raib dimakan si jago merah. Beruntungnya tidak ada korban jiwa pada saat kebakaran tersebut. Semua penghuni kampung yang terletak di wilayah perbukitan ini dinyatakan selamat.

Pasca kebakaran, pemerintah daerah Sumba Barat pun turun tangan. Sejumlah bantuan dikerakan bahkan beberapa LSM maupun organisasi kemasyarakatan pun turut andil membuka donasi buat kampung tersebut. Bahkan diantaranya membangun Paud sementara bagi anak-anak usia dini yang menjadi korban kebakaran untuk belajar demi masa depan mereka sekaligus menghilangkan trauma yang mereka rasakan pasca kebakaran hebat itu.

Bangun Rumah Sementara.

dokpri
dokpri
Pristiwa memilukan itu sudah berlalu. Masyarakat kampung Bondo Maroto mulai sadar kehilangan harta benda adalah sebuah konsekuensi akibat musibah. Namun tidak kemudian membuat mereka terus murung dan bermuram durja. 

Saatnya mereka bangkit menata hidup lebih baik. Toh masih banyak yang harus dikerjakan. Tidak heran jika pasca kebakaran dalam situasi yang masih berduka, para kepala-kepala keluarga mulai berpikir membangun rumah sementara sambil menunggu waktu tepat membangun kembali rumah adat mereka. 

Proses pengerjaan pun masih berlangsung hingga Minggu (30/9) siang kemarin saat media ini menjambangi para korban kebakaran di lingkungan kampung Bondo Maroto. 

Tidak ada lagi kesedihan yang terpancar dari wajah mereka. Malah mereka begitu antusias dan menyambut kedatangan kami dengan senyuman tanda gembira. Bagi mereka kejadian itu adalah bekal buat mereka untuk menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Tidak ada penyesalan, yang ada hanyalah ketegaran hati untuk memandang musibah ini sebagai pelajaran buat hidup mereka. Tidak heran jika dalam proses pengerjaan rumah sementara, canda tawa menjadi obat pelipur lara diantara mereka sendiri. 

Bahkan sirih pinang di kaleku menjadi pembuktian bahwa dirinya mereka tidak sendiri. Masih ada kerabat, handai tolan yang mendukung mereka dengan ikhlas bahkan hadir dalam pembuatan rumah sementara mereka. 

Hal ini pun disampaikan sendiri oleh Dato Toda, salah satu korban kebakaran yang kala itu sedang mengiris bambu untuk pembuatan tali tambur yang ikut terbakar. Menurut Dato Toda, proses pembuatan rumah sementara ini baik di luar kampung maupun di dalam kampung dimaksudkan agar keluarganya bisa memiliki rumah tinggal yang lebih nyaman. Pasalnya, sejak kebakaran tersebut keluarga masih tinggal di tenda darurat bantuan dari pemkab SB.

"Sekarang masih kerja rumah sementara kami. Semua dibantu oleh kerabat kami sendiri. Habis mau minta tolong warga lainnya sulit karena mereka juga kena musibah yang sama. Di dalam areal kampung ada 6 rumah sisanya di luar kampung,"ungkapnya.

Walaupun hanya rumah sementara, namun proses pembuatan rumah sederhana tetap memakai konsep bangunan rumah ala sumba pada umumnya. Iya rumah panggung dengan tiang peyangga di bagian bawah masih dipertahankan. Begitupun dengan bahan pembuatan rumah sendiri mulai dari bambu sampai kayunya. Bedanya bambu di rumah sementara bukanlah bambu bulat seperti biasanya namun dibuat dari bambu belah dan dipadukan dengan tripleks di sisi kiri dan kanannya. 

Begitupun dengan kayu yang dipakai sebagai penyanggahnya. Bukanlah kayu besar yang diambil dari hutan tapi hanya kayu berukuran kecil. Kondisi ini pun terjadi pula saat kita memasuki rumah sementara para korban. Jika sebelumya ada tempat khusus masak dengan beberapa ruang sebagai tempat penyimpanan makanan, di rumah sederhana ini hal itu tidak nampak.

"Ini hanya sementara sehingga dibuat sederhana mungkin. Semua bahan kami ambil dari kebun kami sendiri. Sedangkan untuk alang sebagai penutup rumah kami beli dari orang di kampung-kampung. Karena untuk sekarang sangat sulit kita dapatkan alang di sini. Semua demi kenyamaan istri dan anak-anak kami. Saya bersyukur dalam situasi begini pemerintah masih mau membantu kami dengan beragam bantuan yang kami terima selama ini,"ujarnya.

Ungkapan syukur Dato Toda cukup beralasan. Pemerintah daerah sumba barat dinilai cepat tanggap dengan kondisi masyarakat. Bukan satu kali ini saja, saat kebakaran kampung tarung pun demikian. 

Bahkan pemerintah daerah dibantu para donatur tidak segan membantu anak-anak se usia sekolah untuk pengadaan baju seragam yang ikut hangus. Tidak heran, jika Sebu Kola, warga lainnya di kesempatan itu menyebut bahwa bantuan yang diberikan telah menyelamatkan pendidikan anak-anak dari kampung Bondo Maroto sendiri.

Menurutnya pasca kebakaran, anak-anak di kampung itu tidak sempat bersekolah. Semua masih tenggelam dalam kesedihan akibat kehilangan barang penting mereka termasuk buku, ijazah bahkan baju seragam. Namun di hari ketiga sebut Sebu, anak-anak mulai kembali bersekolah namun tidak memakai baju seragam. Semuanya mengenakan pakaian biasa.

"Tiga hari kalau tidak salah itu. Anak tidak pergi sekolah. Kalaupun ke sekolah mereka pakai pakaian biasa saja. Tapi sekarang mereka sudah punya pakaian sendiri karena diberikan oleh pemkab dan para donatur. Setidaknya pendidikan mereka tetap jalan walaupun mereka terkena musibah,"katanya.

Tetap Berharap Dibantu Pemkab Untuk Bangun Kembali Kampung

dokpri
dokpri

Walaupun demikian, nyatanya masyarakat di kampung bondo maroto tetap butuh perhatian lainnya. Bukan apa-apa kemudahan akses membangun kembali kampung yang hanya menyisahkan debu harus pula dimulai dari sekarang apalagi kampung Bondo Maroto sendiri merupakan satu dari tiga kampung di Sumba Barat yang melaksanakan ritual adat Wulla Podu (Wulla:Bulan dan Podu: Pahit) selain kampung Tarung dan Kampung Gelakoko yang tentunya harus diperhatikan. Pasalnya di ritual adat inilah banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang hadir mengikuti ritual tersebut. 

Hal ini disampaikan Lali Pora bersama Rato Ngungu Kabata. Menurut keduanya membangun kembali kampung seperti awal itu memang tidak mudah. Butuh dana besar dan waktu yang tidak sedikit. 

Pasalnya untuk kayu ukuran besar sebagai tiang penyanggah rumah tidak ada lagi di hutan di wilayah tersebut. Dan butuh proses mencari. Kesulitan lainnya tentu dalam pencarian kayu biasanya dibuat ritual terlebih dahulu dengan mengorbankan hewan dan juga makanan lainnya.

dokpri
dokpri
"Kita masih berharap bantuan pemkab untuk meringankan beban kami. Habisnya bahan untuk bangun rumah apalagi rumah kabisu itu pengeluarannya sangat tinggi. Karena hampir semua barang yang ada di kampung ini termasuk benda keramat hangus terbakar juga ada beberapa kuburan dari batu asli yang retak,"kata Lali Pora.

Akibat belum diperbaikinya kampung pun dirasakan oleh Rato Ngungu Kabata. Sebagai Rato di kampung tersebut, ritual Wollu Padu di kampungnya untuk sementara tidak bisa diadakan secara penuh. Hanya sebagian dimana ritual tersebut tidak akan dipertontonkan secara umum. Ritual itu tambahnya akan diadakan di rumah masing-masing.

"Tetap ada tapi hanya sebagian ritus yang kami buat. Hewan pun tetap kami potong tapi hanya ayam. Iya sampai kampung ini diperbaiki baru bisa dibuat ritus secara penuh,"tambahnya kala itu ditemani Sekdes Kalembu Kuni, Yulianus K. Tenabolo.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun