Mohon tunggu...
Frengky Keban
Frengky Keban Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Penulis Jalanan.... Putra Solor-NTT Tinggal Di Sumba Facebook : Frengky Keban IG. :keban_engky

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Wu'u Nuran, Ritual Adat 5 Tahunan Masyarakat Balawelin

8 Maret 2018   23:08 Diperbarui: 10 Maret 2018   04:06 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan sejauh 2 kilo bukan halangan, bagi mereka yang melangkah dengan semangatnya melewati hutan dan bebatuan di atas tanah gersang yang ditumbuhi puluhan pohon yang selama ini menjadi penunjang hidup masyarakat Balawelin. Tergopoh-gopoh dengan nafas tersengal menjadi buah dari perjalanan ini, namun di titik tertentu kekaguman pun melanda benak mereka yang hadir karena kapela mini yang tadinya menjadi tujuan, berdiri kokoh sosok Ibu nan cantik dibalut sarung adat ditemani sebuah tongkat yang bagi Masyarakat setempat diakui sebagai pelindungnya yang diberi nama Bunda Maria Renha Balawelin. 

Iya berdiam di kapel kecil dan dikelilingi pepohonan rindang di sisi kiri kanannya membuatnya begitu dihargai sebagai ibu semua orang. Dan ini pun menjadi jawaban atas serpihan sejarah yang tertinggal di Bumi Lamaholot bahwa bukan hanya satu Bunda Maria Renha yang ada di tana Larantuka tapi juga masih ada Renha lain di pelosok Negeri yang katanya kering kerontak dan penuh batu. 

Menurut sejarahnya, Patung itu diserahkan oleh mendiang raja Larantuka kepada masyarakat setempat 55 tahun silam sebagai simbol kekeluargaan dan keakraban antara kerajaan Larantuka dengan masyarakat setempat. Nuansa budaya kental pun mengiringi kegembiraan rohani kita, saat melihat empat buah rumah kecil dengan atap alang-alang yang dipakai Semata Pa atau fungsionaris adat masyarakat Balawelin untuk melakukan ritual adat di kampung lama tersebut atau pun sekedar memberi makan Leluhur lewotana yang mendiami kampung tersebut. 

Nyanyian dan tarian adat menyemarakkan Misa Inkulturasi yang dipimpin oleh Pater Alfons Hayon, SVD, bersama belasan imam yang turut ambil bagian dalam perayaan syukur tersebut sembari sekali-kali tersenyum dan takjub akan sebuah realitas akan hidup bersama masyarakat Balawelin yang masih menjaga budayanya di tengah himpitan dunia modernisasi seperti saat ini. 

Nuansa kental, budaya pun mengemuka kembali saat sang protokoler Ambros Niron, mengundang Bapa Lewo, Ema Tana melakukan ritual tutup kampung yang diakhiri dengan pemotongan hewan kurban di bawah Nuba yang selanjutnya kepala hewan tersebut dijadikan persembahan dalam ekaristi tersebut. Menarik, penuh cerita, dan membuat alam sadar kita berdecak kagum tentunya dan membuat kaki-kaki para peziarah atau umat yang hadir berani melangkah kembali menuju pelataran Lango Bele Suku Balawelin mengikuti ritus Belo Wuli atau pemotongan leher hewan yang menjadi persembahan Lewo dan masing-masing Duli. 

Keheningan membuncah, ditengah semarak ritus tersebut, dibarengi dengan lampu cahaya kamera segala jenis meliputi tenda yang menutup wajah letih para empunya pemilik sah ritual Wu'u Nuran dari sengatan mentari yang kian menjauh di ufuk barat, ditambah lagi dengan pekikan hewan kurban yang akan dieksekusi sebagai persembahan kepada sang pemilik kehidupan bersama para leluhur yang senantiasa menjaga Lewo ini.

 

Bau Baku: Caca Jiwa Yang Terjaga

Dan cerita lima tahunan ini, tidak akan berhenti sebelum ritus puncak Bau Baku atau meletakkan nasi ke dalam bakul besar sesuai dengan hitungan anak laki-laki terwujud pada keesokkan harinya, di rumah suku masing-masing. Perempuan yang sedari kemarin tidak terlampau sibuk, kini menjadi figur yang amat sibuk dalam ritus ini dan diuji kemapanannya mengelola suasana ketika semua orang mulai letih kaki dan tangannya. Iya..perempuan memasak dengan peluh keringat di dapur sederhana, melawan asap dari kayu bakar di tungku  beralaskan batu seadanya, berharap masakan nasinya cukup bagi laki-laki di suku masing-masing. 

Sedang laki-laki suku bekerja di luar rumah menyiapkan Maga atau wadah besar tempat menaruh bakul-bakul yang sudah disiapkan, sembari meneguk arak atau tuak dan ditemani sebatang rokok membuat suasana terlampau indah apalagi wu'u nuran dijadikan ajang bertemu, saling sapa, dan tentunya kembali mengakrabkan diri antar anak suku setelah sekian lama terpisah akibat kesibukkan masing-masing.

Dan diseberang sana, sesosok laki-laki dengan sebilah kayu jati atau dikenal Niron Alan Jati atau utusan Bapa Lewo Ema Tana, berjalan mendatangi rumah adat suku satu ke rumah adat suku lainnya, memberi isyarat kalau-kalau Bau Baku yang sudah dipersiapkan suku masing-masing siap diantar memasuki Lango Bele. Dan kemeriahan tak bisa ditolak, dengan selendang ataupun dedauan pengganti selendang menjadi warna tersendiri saat pengantaran Bau Baku tersebut sembari terus menari, tanpa mengenal dia anak-anak, remaja dan orang tua, semuanya tak habis-habisnya bersorak menyatakan syukur dan kemeriahan atas hasil panen tahun ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun