Sebagian orang tua mengaku kecewa dengan adanya test membaca, menulis dan berhitung atau calistung pada saat pendaftaran calon siswa baru sekolah dasar.Test tersebu t merupakan bentuk ketidak adilan anak saat memasuki dunia pendidikan. Dengan test Calistung itu, anak seolah dipaksakan untuk bisa memiliki kemamuan calistung. Namun faktanya, tidak semua anak usia dini memiliki kemampuan calistung.
Bisa dibayangkan gimana psikologis anak ketika dihadapkan dengan kegagalan. Anak yang tidak memiliki kemampuan calistung ditolak pihak sekolah lantaran gagal dalam seleksi ujian masuk yang diterapkannya. Padahal, tidak ada peraturan yang mewajibkan anak usia dini harus bisa membaca menulis dan berhitung apabila akan masuk sekolah. Penerapan tes ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak anak untuk sekolah. Menurut Ketua Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KPAI Seto Mulyadi, dampak kegagalan itu bisa membuat anak menjadi pobia dengan dunia pendidikan.
Anak merasa minder dengan kegagalannya, Padahal dunia anak adalah dunia bermain. Dimana anak-anak usia dini belum dituntut untuk memiliki keahlian dibidang calistung. Biasanya anak-anak usia dini hanya mampu mempelajari segala sesuatu dari sebuah gerakan. Dia menilai, anak-anak usia dini tidak bisa dipaksakan untuk berpikir keras seperti membaca, menulis dan berhitung. Karena, anak-anak di bawah usia tujuh tahun belum punya kemampuan untuk menganalisa hal-hal yang abstrak.
Menyikapi polemik test calistung, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan larangan keras kepada seluruh sekolah-sekolah yang menerapkan ujian calistung dalam proses penjaringan siswa baru sekolah dasar. Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sukemi mengatakan, tidak ada alasan anak usia sekolah ditolak oleh sekolah tertentu dengan alasan tidak bisa baca.
Namun, pengamat pendidikan Arief Rahman mempunyai pandangan berbeda terkait dengan test calistung ini. Menurut dia, test calistung bisa diterapkan dalam penerimaan siswa baru. Namun test ini hanya sebagai alat untuk melihat kemampuan anak bukan sebagai prasyarat untuk masuksekolah dasar. Padahal, program pembelajaran Taman Kanak-kanakitu hanya ditekankan pada aktifitas bermain dan pembentukan karakter. Anak tersebut belum dituntut memang untuk memiliki keahlian membaca, menulis dan berhitung.