Meskipun dulu—jauh sebelum populer—saya sudah dapat menebak kemajuan internet akan pesat tapi saya tak pernah menduga akan sepesat sekarang.
Hari-hari dewasa ini melalui internet segala macam kemudahan ditawarkan bahkan segala macam kemudahan tersebut ada dalam genggaman. Apapun yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh saya, bisa terjadi dan terwujud dengan nyata.
Pada intinya, manfaat internet menyuguhkan antiklimaks bahwa tak ada yang mustahil diraih, baik kemudahan, pengetahuan ataupun cuan.
Selain pesatnya kemajuan internet, pun demikian juga dengan daya kritik saya—sedikit bocoran, saya memang tipikal seorang perempuan yang doyan mengkritik, apalagi jika itu mengganggu pikiran dan bertentangan dengan nurani saya—dan pakem saya, tak semua kritik harus menghadirkan solusi meski boleh jadi saya jarang melakukan itu, khususnya yang ada kaitannya dengan perempuan dan atau anak (baca: di akun media sosial, saya sering menunjukkan ketidaksukaan saya terhadap sesuatu jika memang itu saya rasa perlu).
Oleh karenanya, untuk menyeimbangi hal tersebut, saya pun harus terus memacu diri saya untuk mencari tahu apa yang perlu saya tahu dan internet menjadi salah satu acuan.
Feminisme dan label feminis yang melekat
Pencarian saya pun membuahkan hasil. Nyaris tiga tahun sudah saya menobatkan diri saya sebagai seorang feminis—dan sebagai seorang feminis adalah sesuatu yang (menjadi) "wajib" bagi saya untuk tahu segala hal yang berhubungan dengan kesetaraan gender berikut segala cakupannya—dan atau turunannya.
Feminisme tidak hanya berbicara tentang pembelaan terhadap perempuan saja—feminisme tidak sedangkal itu—feminisme ada untuk semua (baca : gender).
Karena menurut hemat saya, feminisme hadir untuk menyuarakan hak-hak individu seseorang dalam kerangkanya sebagai manusia, bahwa manusia seyogyanya dipandang SETARA, termasuk di ruang publik.
Jika para pembaca ikut mengulik dan pada akhirnya sama tertariknya dengan yang saya sebutkan di atas (baca: kesetaraan gender) maka kita mau tidak mau akan sering disodori tentang banyaknya kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini, baik secara fisik maupun verbal, dan tentu saja pelecehan seksual masuk di dalamnya.
Tidak setara
Tentu saja ada kaitan yang sangat krusial antara kekerasan seksual dengan kesetaraan gender.
Mengapa saya katakan demikian, karena mustahil ada kekerasan seksual jika setiap individu mampu menghargai individu lainnya secara SETARA dalam subyeknya sebagai MANUSIA seperti yang saya katakan sebelumnya—ini berlaku tanpa batasan umur, jenis kelamin, ras, agama dan lain sebagainya.