Yang saya tahu menikah harus menyertai tiga faktor kesiapan: siap seksual, siap mental (termasuk di dalamnya spiritual) dan siap finansial.
Dan menyoal siap finansial adalah penghasilan yang dicari dengan usaha sendiri—bukan ujug-ujug dari jatah warisan. Meskipun bisa saya katakan, dengan warisan seseorang sudah mendapat hak "khusus" di mata penilaian orang-orang.
Bukan dengan cara itu—yang saya maksudkan adalah memiliki penghasilan yang berasal dari upayanya sendiri (baca: jika bercermin dengan kasus yang saya komentari di awal)—dan menurut saya, ada dua alasan yang menyertainya—mengapa laki-laki wajib memiliki penghasilan sebelum menikah.
#1 Bentuk tanggungjawab
Laki-laki HARUS berpenghasilan.
Bagi saya, tak ada istilah laki-laki duduk manis di rumah hanya dengan menghabiskan batang demi batang rokok atau bercangkir-cangkir kopi (baca: jika keduanya memang dilakukan karena candu) serta membuang kuota internet dengan percuma, tanpa menghasilkan apa-apa—dengan kata lain HANYA mengandalkan "pembiayaan" hidupnya dari orangtua.
Jika laki-laki sebelum menikah saja tidak bisa "mengawali" tanggungjawab terhadap dirinya sendiri (baca: tidak berpenghasilan), bukan tidak mungkin laki-laki tersebut kelak akan membiarkan tanggungjawab nafkah keluarga—hanya—diemban oleh isteri?Â
Namun perlu digarisbawahi, saya tidak mengatakan bahwa puan tidak boleh bekerja (baca: sebagai penyokong kebutuhan keluarga atau sebagai bentuk aktualisasi diri) dan hanya di rumah dengan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus seluruh urusan domestik rumah tangga sekaligus menjaga anak setelah menikah (baca: hingga nyaris kelelahan dan tak sedikit menjadi sumber keluhan)—sementara beban pencarian nafkah mutlak diberikan pada laki-laki sebagai suami;
Bukan pula tidak membolehkan laki-laki menjadi bapak rumah tangga sementara isterinya berjuang mencari nafkah (baca: sedikit informasi, saya sendiri tidak semata-mata berpegang teguh atau mutlak tunduk pada istilah "harga diri laki-laki adalah bekerja dan menafkahi"—melainkan menganut konsep "setara" dan "saling" untuk segala urusan dalam rumah tangga yang pada praktiknya melakukan negosiasi antar pasangan).
Kedua pola tersebut akarnya terletak pada sistem atau budaya yang sejak semula manusia sendiri yang membuatnya (baca: yang justeru membuat manusia susah sendiri dan seringkali jadi bumerang).
Bukan—jelas bukan itu yang saya maksudkan.
Pada intinya, ini bukan tentang jumlah nominal uang yang dihasilkan laki-laki melainkan bentuk konkret tanggungjawabnya terhadap diri sendiri—terhadap dirinya.