Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Alasan Mengapa Laki-laki Wajib Memiliki Penghasilan Sebelum Menikah

13 September 2021   07:03 Diperbarui: 23 September 2021   21:30 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi isi dompet laki-laki. Sumber: iStockPhotos via Kompas.com

Yang ingin saya katakan:

Jika para puan saja "mengeraskan" tulang untuk memiliki penghasilannya sendiri sebelum menikah, mengapa laki-laki ogah-ogahan—alih-alih menggantungkan hidup pada orangtua, apalagi semata-mata mengandalkan warisan sebagai jatah?

Tolong jangan berlindung dibalik kalimat "terima saya apa adanya" di dunia yang sangat tidak apa adanya ini.

Dunia tak—selalu—menawarkan hal-hal yang muluk-muluk yang sesederhana itu, tuan dan puan. Kita justeru malah dituntut harus berjuang menaklukannya.

Saya tak sedang membahas kebutuhan hidup versus gaya hidup; saya hanya sedang berusaha mengajak untuk realistis memandang kehidupan itu sendiri.

Dan bagi saya, tak ada istilah laki-laki tak memiliki penghasilan—atau parahnya dengan polosnya mengaku jika dirinya seorang pengangguran; saya justeru lebih menghargai laki-laki yang memutuskan jadi kuli panggul di pasar dibandingkan laki-laki dengan model ini. 

Karena laki-laki jauh lebih tidak memiliki batasan dibandingkan para puan: dikaruniai fisik yang jauh lebih tangguh serta pertimbangan mengambil keputusan yang jauh lebih cepat dan terorganisir.

Dengan kata lain, jauh lebih memiliki "hak istimewa" untuk berbuat lebih banyak tanpa harus dibebani stigma di masyarakat yang justeru diinginkan hampir seluruh para puan.

#2 Penyeimbang superior-inferior

Sudah lazim kita tahu selalu ada perdebatan tuntutan kaum laki-laki yang meminta isterinya kelak pandai mengurus rumah, bisa masak, taat suami, sayang mertua, jago ngurus anak dan lain sebagainya—yang tentu saja tak sedikit menimbulkan pro dan kontra—bahkan hingga tulisan ini dibuat sekalipun, keributan menyoal hal tersebut belum kunjung selesai.

Sebagian dari laki-laki mungkin tidak mempermasalahkan tuntutan penghasilan yang disyaratkan seorang puan padanya. Namun, tak sedikit pula yang penghasilannya pas-pasan memberikan syarat serupa.

Di sinilah letak masalahnya.

Laki-laki terkadang lebih mengedepankan egonya dibalik label superioritas-nya sebagai suami terhadap sosok—yang mereka anggap—di posisi inferior, yang tidak lain adalah isteri; malah kerapkali justeru menihilkannya.

Banyak laki-laki beranggapan—hanya karena superioritasnya mencari nafkah tadi sehingga menjadi alasan bahwa urusan-urusan domestik yang terjadi dalam rumah tangga bukan merupakan tanggungjawabnya dan malah membebankan sepenuhnya pada pasangannya yakni istri (baca: termasuk pengasuhan anak); tak banyak laki-laki yang legowo memaknai arti kata "saling" yang sebenarnya—tak peduli penghasilan yang didapat mencukupi atau tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun