Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yen Wani Ojo Wedi-wedi Yen Wedi Ojo Wani-wani; Sila Maju Kalau Berani atau Tidak Sama Sekali

19 Juni 2021   06:49 Diperbarui: 19 Juni 2021   16:54 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Yen wani ojo wedi-wedi yen wedi ojo wani-wani" yang tergambar melalui ekspresi cah lanang ini. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Saya pernah sesumbar kepengin sekali bersuamikan laki-laki bersuku Jawa, alasannya sangat sederhana. 

Karena, saya adalah orang Sumatera—dari suku Batak Toba pula, meski saya lahir dan berdomisili di Palembang—wataknya keras, bicara kadang dengan sedikit "ngegas", jadi tipikal yang lembut seperti orang Jawa mungkin bisa mengimbangi ke-Sumatera-an saya yang begitu sangat mencolok tersebut. 

Orang Jawa, Batak dan Minang (baca: tiga suku yang ketekunan bekerja terwakili; kegigihan bernegosiasi; dan tentu saja kecakapan dalam jual-beli) pernah mendapat tempat istimewa di hati saya; ketiganya pernah jadi mantan orang terdekat saya. Ups.

Ini curhat colongan. Tolong dimaafkan.

Kembali ke orang Jawa, selain karena perilaku orang-orangnya yang cenderung sopan, lembut bertutur, nrima, kalem dan lain sebagainya—yang baik-baiknya saja—hal yang saya suka dari suku Jawa yang lainnya tentu saja budayanya.

Dalam menunaikan tugas sebagai female wedding photographer, saya kerap mendokumentasikan acara pernikahan adat Jawa, satu dari tiga adat yang dominan sekali saya temui di lapangan selain adat Palembang dan Minang. 

Baca juga: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan

Beberapa rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa seperti upacara panggih¹ (baca: temu manten, yang artinya kedua pengantin bertemu setelah resmi menikah secara legal melalui upacara keagamaan);—atau 

ngidak tagan² atau nincak endogi (baca: ritual injak sebutir telur ayam mentah oleh mempelai pria dilaksanakan sebagai harapan bahwa ia akan mendapatkan keturunan karena keduanya telah bersatu. Kemudian, sang istri akan membasuh kaki suaminya sebagai tanda kasih sayangnya)—atau 

kacar kucur³ (baca: ritual ini dilakukan oleh pengantin pria yang mengucurkan uang logam beserta kebutuhan pokok seperti beras dan biji-bijian kepada sang istri. Ini dilakukan untuk menyimbolkan bahwa ia akan bertanggung jawab dalam memberikan nafkah kepada keluarga), dan lain sebagainya tentu wajib masuk data file kamera saya pada saat itu.

Semuanya "mempertebal" iman saya bahwasanya saya bangga menjadi orang Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun