Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu, Tupai, dan Hakikat Belajar

2 Mei 2021   10:15 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen sosialisasi sebelum beberapa hari kegiatan "Mengajar Sehari Selamanya Menginspirasi" dihelat. (Foto: dokumentasi pribadi.)

Itu terjadi beberapa tahun silam, saat saya masih tercatat sebagai seorang produser di sebuah radio bersegmentasi dewasa muda (range usia pendengar 25-35 tahun-an)—dan laki-laki yang jadi lawan bicara saya adalah radio coach saya, yang menjadi guru saya tentang bagaimana menjadi produser radio yang baik: tentang bagaimana menghasilkan show yang "luar biasa" untuk didengar, bagaimana meminta kompilasi lagu yang baik (enak didengar sesuai musical flow jam-jam siaran)—untuk kemudian nanti menyodorkannya pada Music Director, tentang bagaimana membangkitkan mood yang oke bagi para penyiar yang saya pegang acaranya—dan lain sebagainya.

Bukan tanpa alasan saya menanyakan pertanyaan seperti yang saya ajukan padanya waktu itu. Selain memang dituntut untuk tidak boleh berhenti berpikir kreatif dan imajinatif, orang-orang yang bekerja di industri media macam kami (setidaknya ketika saya masih berkecimpung di dunia broadcasting seperti waktu itu) juga harus dituntut aktif mempertanyakan hal-hal yang membuat orang-orang seperti kami merasa penasaran.

Begitulah ihwalnya.

Batu.

Pertama, dia menganalogikan saya dengan batu karena watak saya yang keras. 

Dia benar, tak ada satupun yang mampu mengubah pandangan saya terhadap sesuatu jika saya tidak ingin mengubahnya dan jawabannya tetap akan "tidak"—setidaknya selama saya belum benar-benar membuka tempurung kepala saya untuk penjelasan yang masuk akal—sekalipun saya sadar penuh terkadang tidak berubahnya sesuatu itu didasari karena ego saya yang kelewat besar.

Tupai.

Kenapa saya disebut Tupai olehnya? 

Karena katanya saya bisa gesit bergerak—meloncat atau berjingkat—tapi karena ceroboh, bisa pula terjatuh lalu menggelinding ke bawah: jatuh ke tanah. Dijelaskannya demikian karena saya dianggapnya memiliki sesuatu yang bisa "meledakkan" kepala dengan hanya memikirkan sesuatu yang aneh, ajaib, di luar nalar, unpredictable—namun terkadang bisa pula berpikiran yang terlalu polos, naif, dan kekanak-kanakan.

Hingga hari ini, saya tak pernah melupakan kejadian hari itu. Saya selalu mengingatnya dengan baik—sangat baik. Bukan pada poin "batu"-nya tapi pada poin "tupai"-nya—dan poin itu cukup membuat saya tak perlu menanyakan lagi apa analogi ketiga yang sebenarnya dia sebut dengan "rahasia". Meskipun sebenarnya sangat ingin tetapi lantas terlupakan begitu saja seiring waktu—dan sekarang jika pun saya mengulang pertanyaan yang sama padanya, saya agak ragu mendapatkan jawaban yang sama persis seperti yang radio coach katakan pada hari itu. 

Tak semua orang memiliki ingatan yang baik terhadap sesuatu jika "sesuatu" itu tidak terlalu membekas pada dirinya—alih-alih mungkin hanya didengar atau diucapkannya sambil lalu.

Momen percobaan mengajar yang dilakukan panitia termasuk saya sendiri. (Foto: dokumentasi pribadi.)
Momen percobaan mengajar yang dilakukan panitia termasuk saya sendiri. (Foto: dokumentasi pribadi.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun