Fenomena "gig economy" atau ekonomi lepas dengan platform digital seperti ojek online, jasa pengantaran makanan, dan freelance digital membuat definisi "buruh" menjadi semakin kompleks. Para pekerja di sektor ini seringkali tidak memiliki jaminan sosial, kepastian pendapatan, atau perlindungan hukum yang memadai. Mereka berada di zona abu-abu: secara formal bukan karyawan, tapi juga bukan wirausahawan sejati.
Pandemi COVID-19 semakin memperburuk kondisi ini. Jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, dipaksa bekerja dengan jam lebih panjang, atau menerima pemotongan gaji. Work from home yang awalnya dianggap sebagai privilese, kini menimbulkan masalah baru seperti beban kerja berlebih, sulitnya memisahkan waktu kerja dan istirahat, serta masalah kesehatan mental.
Solidaritas di Tengah Fragmentasi
Di tengah tantangan ini, solidaritas antar pekerja justru menghadapi ujian berat. Fragmentasi status pekerja (tetap, kontrak, outsourcing, pekerja platform) membuat gerakan buruh terpecah-pecah. Belum lagi perbedaan kepentingan antara sektor formal dan informal, pekerja kerah putih dan kerah biru, serta pekerja domestik dan migran.
Namun, justru di sinilah esensi Hari Buruh menjadi relevan. Hari Buruh bukan sekadar peringatan sejarah atau ajang demonstrasi tahunan, melainkan momentum untuk membangun solidaritas lintas sektor, status, dan generasi. Ini adalah saat untuk menyadari bahwa meski bentuk pekerjaan berubah, esensi perjuangan untuk martabat, keadilan, dan kesejahteraan tetap sama.
Memaknai Hari Buruh di Era Kontemporer
Bagaimana seharusnya kita memaknai Hari Buruh di era kontemporer? Pertama, ini adalah saat untuk menghormati perjuangan para pendahulu yang telah mengorbankan nyawa demi hak-hak yang kini kita nikmati, seperti 8 jam kerja, libur mingguan, dan jaminan keselamatan kerja.
Kedua, Hari Buruh adalah momentum untuk refleksi dan evaluasi. Sejauh mana hak-hak pekerja telah terpenuhi? Bagaimana kondisi upah, jaminan sosial, dan keselamatan kerja? Apakah regulasi ketenagakerjaan masih relevan dengan perkembangan zaman?
Ketiga, Hari Buruh adalah ajang untuk membangun solidaritas dan aliansi baru. Di era digital, gerakan buruh perlu merangkul kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan: pekerja platform, pekerja rumahan, pekerja migran, dan kelompok rentan lainnya.
Keempat, Hari Buruh adalah saat untuk memikirkan masa depan dunia kerja. Bagaimana menghadapi otomatisasi dan digitalisasi? Apa yang harus dilakukan agar transisi ke ekonomi hijau tidak mengorbankan pekerja? Bagaimana memastikan bahwa kemajuan teknologi membawa manfaat bagi semua, bukan hanya segelintir orang?
Menuju Masa Depan yang Lebih Baik