Demonstrasi di Indonesia sering kali menjadi cerminan keresahan sosial, namun di balik keriuhan massa, terselip pertanyaan: apakah aksi ini murni aspirasi rakyat atau bagian dari skenario rekayasa sosial? Dalam perspektif komunikasi kritis, jalanan bukan hanya tempat menyuarakan protes, tetapi juga panggung simbolik yang mempertontonkan emosi kolektif. Media, sebagai pengatur narasi, memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi publik melalui framing berita, judul sensasional, atau konten viral yang mengamplifikasi dampak demonstrasi.
Aksi massa yang terorganisir dengan cepat, didukung logistik dan narasi seragam, memunculkan kecurigaan adanya kepentingan politik di belakangnya. Demonstrasi bisa dimanfaatkan untuk mengguncang legitimasi penguasa, membentuk opini publik, atau menunjukkan dominasi kekuatan. Media sosial dan liputan berita memperkuat polarisasi, membagi publik menjadi pendukung atau penentang, yang pada akhirnya dapat melayani agenda aktor tertentu.
Namun, demonstrasi tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai ekspresi murni atau manipulasi total. Ia adalah perpaduan kompleks antara aspirasi rakyat dan strategi politik. Masyarakat, sebagai penonton aktif, terlibat dalam menafsirkan peristiwa, namun rentan terseret dalam permainan narasi. Pendekatan kritis diperlukan untuk memahami simbol, framing, dan kuasa di balik aksi jalanan, sehingga publik tidak hanya menjadi konsumen drama politik, tetapi mampu mengenali dinamika kekuasaan yang sedang berlangsung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI