Mohon tunggu...
Katherine Kat
Katherine Kat Mohon Tunggu... Freelancer - Wife, Mom & Self-employed

Tinggal di Toorak, VIC dan Jawa Tengah, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Insiden KRL: Seburuk Itukah Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku Manusia?

20 April 2014   02:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu masyarakat dihebohkan dengan fenomena seorang remaja yang enggan memberikan tempat duduknya di KRL kepada seorang ibu yang sedang hamil. Mungkin fenomena serupa bukan terjadi kali ini saja namun umum terjadi di Indonesia. Kejadian tempo hari menjadi heboh karena remaja tersebut menuliskan uneg-unegnya di jejaring sosial yang kemudian menjadikan insiden tersebut makin meluas dan memanas.

[caption id="attachment_332405" align="aligncenter" width="393" caption="Transportasi Publik di Victoria (dokpri)"][/caption]

Cukuplah nama pihak-pihak yang terkait disebutkan, toh hampir semua pengguna internet sudah tahu. Cukup pula penghakiman yang diberikan oleh masyarakat. Sebenarnya yang justru lebih penting untuk dipetik pelajarannya dari kejadian tersebut adalah fenomena ketidakpedulian masyarakat Indonesia satu sama lain.

Memang tidak semua orang Indonesia memiliki kecenderungan untuk ketus dan acuh terhadap sesama, namun suka atau tidak suka faktanya memang mayoritas masyarakat kita demikian adanya.

Terus terang dalam hati ketika mendengar dan membaca kejadian tersebut yang muncul di benak saya adalah sebuah pertanyaan apakah memang separah itukah pengaruh kondisi lingkungan terhadap etika, perilaku dan karakter seseorang?

Pembelaan yang dilakukan oleh remaja yang menolak memberikan tempat duduk kepada ibu hamil di KRL yang dilanjutkan dengan uneg-uneg di jejaring soial tersebut adalah kondisinya yang harus bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendapatkan tempat duduk di kereta dengan segala perjuangannya.

Saya tentu tak dalam posisi layak untuk memberikan penilaian terhadap kasus tersebut ataupun fenomena sejenis. Sebab di kedua kota yang pernah menjadi tempat tinggal saya yaitu Melbourne dan Salatiga pada jam sibuk sekalipun tak persaingan untuk memperoleh tempat di kendaraan umum tentulah tak sebanding dengan kota-kota besar di Indonesia.

Di Salatiga memang moda tranportasi publik tak sebaik di Melbourne, namun meski ada kalanya harus berdiri di dalam bus atau berhimpitan di dalam angkot tetap saja kondisinya tak seburuk di Jakarta misalnya. Penumpang kendaraan umum juga kalah peka dan peduli sesama dibanding Melbourne, namun lagi-lagi lebih baik dibanding Jakarta.

Sementara di Melbourne pada jam-jam tertentu kendaraan umum memang sangat padat, namun kepedulian masyarakatnya sangat tinggi sehingga manula, ibu hamil atau orang tua yang menggendong anak kecil (baby & toddler) pasti mendapatkan prioritas. Bahkan tanpa diminta pun begitu ada ibu hamil, orang tua menggendong bayi atau manula pasti ada saja yang memberikan tempat duduknya secara sukarela, kadang bahkan ada beberapa orang sekaligus yang langsung berdiri dan mempersilakan tempatnya.

Memang ada cukup banyak stiker berwarna biru di kendaraaan umum yang mengingatkan penumpang untuk memberi kursi kepada penumpang berkebutuhan khusus, bahkan disebut ada sanksi bagi yang tak melakukannya. Namun saya rasa bukan sanksi tersebut yang membuat Melbournian rela memberi tempat duduk, melainkan karena kesadaran diri sendiri.

[caption id="attachment_332406" align="aligncenter" width="500" caption="Beberapa kursi khusus disediakan untuk penumpang berkebutuhan khusus. Namun penumpang lain pun rela memberikan kursinya ketika kursi khusus tersebut sudah terisi (Foto dokpri)"]

1397910442238234622
1397910442238234622
[/caption]

Jika benar bahwa kondisi lingkungan begitu besar pengaruhnya terhadap seseorang maka masalah bangsa ini memang sangat kompleks. Sebab ketika muncul kasus di KRL baru-baru ini antara remaja dan ibu hamil tak sedikit pula yang berpendapat bahwa sikap tidak peduli dan kasar tersebut adalah cerminan dari hasil sistem pendidikan di Indonesia yang hanya menekankan pada kemampuan akademis.

Di satu sisi saya pikir ada benarnya, sebab ambil contoh saja di Negara Bagian Victoria anak-anak setara TK dan SD belum banyak dibebani dengan pendidikan yang tujuannya mengasah kemampuan akademis, namun hal-hal yang sifatnya mendewasakan kepribadian dan etika mendapat porsi yang sangat besar pula.

Dispilin dan ketertiban dalam mengantri, membuang sampah pada tempatnya bahkan baru-baru ini anak usia SD pun mendapat tambahan pelajaran mengenai etika bersosialisasi di internet dan jejaring sosial adalah beberapa contohnya.

Para guru lebih concern ketika seorang anak terlambat dalam perkembangan karakter serta kepribadiannya ketimbang terlambat dalam belajar matematika misalnya.

Sebaliknya di Indonesia anak TK sudah diajarkan baca tulis serta berhitung, lebih parah lagi ketika masuk SD pun harus melewati ujian.

Dalam sebuah perbicangan dengan sesama orang tua pada suatu kesempatan, teman-teman yang tinggal di Jakarta juga menyatakan keprihatinan serupa. Beberapa teman merasa bersyukur sebab mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah elit di Jakarta yang tidak memaksakan pembelajaran akademis kepada anak-anak usia TK dan SD, namun pada saat yang sama beberapa teman juga merasa resah karena hanya mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah biasa yang menekankan pembelajaran akademis pada anak-anaknya.

Pernah kami para orang tua yang tinggal atau pernah tinggal di Australia berpendapat bahwa dalam pengamatan kami orang Asia (bukan hanya Indonesia) sebenarnya tak kalah pintar dari para bule di Aussie, hanya saja soal kematangan mental serta kepribadian harus diakui masih kalah jauh.

Orang Asia jika dibandingkan orang Barat kentara sekali kekanak-kanakan, suka mencari perhatian, bersembunyi di balim harta atau jabatan dan sebagainya. Sementara orang Barat tampak lebih stabil dan mantap. Dari pengamatan tersebut kami menilai bahwa sistem pendidikan lah salah satu penyebabnya.

Karakter dan kepribadian tidak pernah menjadi titik berat dalam sistem pendidikan di Indonesia, sebaliknya tes, ujian, UN seolah-olah menjadi fokus dan titik berat bagi para siswa.
Lebih buruk lagi, kondisi ini turut melarutkan orang tua dengan memaksa anak-anaknya untuk mengikuti les, bimbel dan lain sebagainya. Sehingga seolah sebagian besar waktu anak pada masa perkembangan kepribadian dan mentalnya dipusatkan pada hal-hal akademis saja.

Mungkin karena karakter dan kepribadian tidak pernah menjadi titik berat itulah yang menjadikan bangsa Asia tak kalah pintar dari bule, namun pada saat yang sama kalah dalam kedewasaan.

Salah satu bentuk ketidakdewasaan mayoritas orang Asia adalah mengagung-agungkan hal-hal yang sifatnya artificial seperti jabatan, harta dan sebagainya. Di Melbourne yang keberagaman penduduknya sangat tinggi ketimpangan ini makin kentara. Dan jika memang ada orang (ras) Asia yang sikapnya tidak demikian biasanya mereka lahir di Australia atau bahkan sudah turun temurun berada di Australia.

Sangat disayangkan jika fenomena ini terus-menerus terjadi dan kecenderungan ini terus menerus dipertahankan. Pada satu titik tertentu bangsa ini mestinya sadar bahwa mempertahankan pola-pola yang ada saat ini takkan banyak membawa perubahan berarti pada bangsa kita.

Pula ketika kita berbicara soal pendidikan karakter sebenarnya tak melulu orientasinya adalah agama. Memang kita adalah negara ber-Ketuhanan, namun acapkali agenda-agenda tersembunyi di balik nama agama juga menjadikan pendidikan karakter menjadi tidak lagi efektif sebagaimana mestinya.

Displin mengantri, tertib membuang sampah, toleransi dan sebagainya tak harus diajarkan atas nama atau dari sudut pandang agama saja. Jangan lupa bahwa setengah dari populasi penduduk di Australia bukanlah penganut agama tertentu alias atheis, tapi soal etika dan toleransi mereka jauh lebih baik dari kita yang mengaku beragama. Apa kita tidak malu terhadap kondisi tersebut?

Dalam kasus di KRL beberapa hari lalu setidaknya ada dua faktor yang mungkin memengaruhi ketidakpedulian, ketidakpekaan dan sikap egois yang ada dalam masyarakat kita. Pertama adalah sistem pendidikan yang menekankan pada akademis semata dan yang kedua adalah ketidaklayakkan sarana pra sarana transportasi. Well, bukan rahasia bahwa langkanya sebuah sumber daya mendorong orang untuk berperilaku agresif. Untuk kasus ini mungkin sarana pra sarana transportasi boleh dibilang merupakan sumber daya yang langka di Indonesia.

Lagi-lagi, saya bukan siapa-siapa. Bukan pendidik, bukan psikolog, bukan sosiolog atau pemuka agama, bukan pejabat dan bukan orang kaya. Pendapat saya mungkin ada yang menilai benar, mungkin juga yang menilai ngawur. Toh sebagian besar orang lebih suka melihat siapa pemberi pesan ketimbang isi pesannya, jadi abaikan saja tulisan ini kalau memang dianggap ngawur…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun