Belum dua bulan menjalani tahun 2020 sudah mengalami tiga kali kebanjiran. Pertama saat tinggal di Pondok Arum, pas tahun baru. 1 Januari. Ketinggian sampai atap.Â
Lalu pindah rumah. Rupanya banjir masih mengikuti. Pas  Imlek, 25 Januari. Kebanjiran lagi. Sebatas lutut.Â
Tak disangka-sangka bertepatan dengan 1 Pebruari banjir datang lagi. Hampir mencapai kepala saya ketinggiannya.Â
Kalau di sepak bola itu hattrick namanya. Tentu menyenangkan bagi pemain yang bisa mencetak hattrick.Â
Kalau kebanjiran tiga kali. Apakah itu menyenangkan?Â
Di balik kesedihan. Saya lihat warga masih bisa tertawa dan bercanda. Paling tidak berusaha menyenangkan diri sebagai penghiburan.Â
Banjir sudah terjadi. Mau menangis juga, malah membuat stres.  Walau  ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Karena sampai sekarang belum bisa menempati.Â
Kondisi masih belum aman. Karena masih sering hujan. Anak masih ikut neneknya. Istri masih menumpang di mess.Â
Tetap berusaha tersenyum. Berusaha menemukan berkah di balik bencana yang ada. Berusaha mengambil hikmah di balik derita. Bukankah itu yang lebih utama?
Tidak tahu ini sekadar menghibur diri. Bisa jadi juga motivasi. Penguatan diri. Keyakinan. Rasa optimis. Bahwa awal tahun ini kebanjiran air sampai tiga kali. Itu sebagai pertanda hari-hari berikutnya akan kebanjiran rejeki.Â
Ketika sesama korban banjir sama-sama membersihkan peralatan di depan rumah. Sempat mendengar seorang tetangga mengatakan, bahwa masih untuk kebanjiran. Barang-barang masih ada yang bisa dicuci. Kalau kebakaran? Bisa habis semua.Â